Page 164 - Tere Liye - Bumi
P. 164

TereLiye “Bumi”   161




                  menatapnya. Seperti ada suara yang memanggilku, menyuruhku

                  menyentuh buku itu.

                         Tanganku terulur gemetar. Baiklah, aku akan melakukannya. Apa
                  pun yang terjadi, aku tidak sempat memikirkannya lebih baik.


                         Sampul buku terasa lembut di jemariku. Tidak ada yang ter­jadi.

                         Aku menoleh ke arah Ali.


                         Ali mengangguk. ”Buka saja, Ra.”

                         Belum sempat aku menggerakkan sampul buku, sinar dari gambar
                  bulan sabit merambat ke telapak tanganku, terus naik ke pergelangan
                  tangan, lengan, dan bahu. Aku menahan napas. Sinar itu terasa hangat,
                  dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh­ku, dan terakhir tiba di wajahku.
                  Seluruh tubuhku terbungkus sinar dari buku. Aku menatap ke cermin
                  meja belajar. Wajahku terlihat cemerlang, persis seperti wajah Miss Selena
                  di aula tadi.


                         Seli yang berdiri di belakangku menahan napas. Ali menatap
                  semangat, seperti melihat hasil reaksi praktikum fisika yang menarik—si
                  genius ini benar­benar berbeda dibanding siapa pun. Rasa ingin tahunya
                  mengalahkan kecemasan atau ketakut­an.


                         Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih
                  kencang dari biasanya.

                         Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak
                  ada yang datang. Itu tadi pertanda  suara apa? Tetapi  tiba­tiba aku
                  berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah.
                  Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruang­an apa. Tempat tidurnya
                  menggantung di dinding. Lampunya  berbentuk aneh sekali, menyala
                  terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa
                  disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar
                  yang ganjil. Semua terlihat berbeda.


                         ”Kita ada di mana?” Seli ikut memeriksa sekitar, bertanya ce­mas.

                         Aku menggeleng tidak tahu. Cahaya yang membalut  sekujur
                  tubuhku hilang. Buku PR di atas meja—kini meja itu terlihat aneh





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169