Page 165 - Tere Liye - Bumi
P. 165

TereLiye “Bumi”   162




                  se­kali—juga berhenti mengeluarkan sinar, teronggok seperti buku biasa

                  dengan sampul bulan sabit.

                         Sebelum kami sempat menyadari apa pun, terdengar suara
                  bercakap­cakap di luar, dengan bahasa yang tidak kumengerti.


                         Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempat
                  kami.

                         Pintu berbentuk bulat didorong—aku belum pernah melihat pintu
                  seaneh itu. Tiga orang melangkah masuk ke dalam ruang­an. Dua orang
                  dewasa setengah baya dan  satu anak laki­laki berusia empat tahun.
                  Mereka mengenakan baju gelap yang  ganjil. Si kecil terlihat menguap,
                  memeluk boneka yang lagi­lagi berbentuk aneh. Ibunya, sepertinya begitu,
                  tersenyum, menunjuk ke ranjang. Ayahnya, sepertinya juga begitu,
                  berkata dengan kalimat­kalimat yang tidak kami pahami. Mereka tertawa.
                  Tampilan mereka bertiga lebih aneh dibanding film­film fantasi mana pun.


                         Langkah si kecil terhenti. Dia berseru bingung, menunjuk kami.
                  Orangtuanya lebih kaget lagi. Kami berenam saling tatap.  Si kecil
                  ketakutan, refleks memeluk ibunya.

                         Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulai
                  ragu, ini bahkan tidak akan pernah  ditemukan di kota kami. Semua
                  terlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi?


                         Ayah si kecil maju, bicara dengan kalimat aneh. Sepertinya dia
                  bertanya kepada kami. Wajahnya bingung, me­nyelidik.


                         Seli merapat kepadaku. Ali tetap mematung di tempat. Dia sempat
                  memasukkan buku PR matematikaku ke dalam tas ranselnya sebelum
                  tiga orang tersebut masuk.

                         Ayah si kecil berseru­seru. Dia tidak terlihat marah. Dia lebih
                  terlihat kaget. Si kecil masih memeluk  erat ibunya. Aku menelan ludah.
                  Bagaimana ini? Sang ayah melangkah lebih dekat, me­natap kami bertiga
                  bergantian, menoleh kepada istrinya,  berkata­kata dengan kalimat aneh
                  lagi. Sepertinya dia bilang pada istrinya, ”Lihatlah, pakaian mereka aneh
                  sekali. Siapakah tiga anak ini? Apakah mereka tersesat? Bagaimana








                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170