Page 166 - Tere Liye - Bumi
P. 166

TereLiye “Bumi”   163




                  mereka masuk ke dalam rumah kita? Apakah kita perlu memanggil

                  petugas ke­aman­an?”

                         Sambil masih memeluk si kecil, istrinya ikut maju, menyelidik,
                  menatap kami bertiga. Wanita itu menggeleng. Dia berkata, ”Sepertinya
                  tiga anak ini sama bingungnya, kasihan sekali.  Tidak ada yang perlu
                  dicemaskan, mereka sepertinya tidak berbahaya. Apakah mereka dari luar
                  kota, salah masuk  ke dalam rumah karena tidak terbiasa? Atau karena
                  jaringan trans­por­tasi kembali bermasalah?” Pasangan baya itu masih
                  berbicara satu sama lain. Si kecil memberanikan diri mengintip kami.


                         Aku tiba­tiba terdiam. Eh? Aku? Entah bagaimana  caranya, aku
                  sepertinya mengerti kalimat yang mereka katakan. Hei! Aku sepertinya
                  tahu apa yang sedang mereka diskusikan.

                         ”Maaf,” aku berkata pelan, mengangkat tangan.


                         Pasangan itu menoleh.

                         ”Maaf, kami tidak salah masuk kamar.” Aku menggeleng. ”Tadi kami
                  berada di kamarku, di rumahku, lantas tiba­tiba saja kami sudah pindah
                  ke kamar ini.”


                         Ayah si kecil mendekat. ”Apakah  kalian sebelumnya sedang
                  menggunakan lorong berpindah?”


                         Aku menoleh kepada Ali. ”Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakah
                  itu istilah fisika modern?” Yang kutoleh jangan­kan men­jawab. Ali dan
                  Seli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa aneh
                  itu.

                         ”Kalian sepertinya mengalami kekacauan sistem lorong ber­pindah.”
                  Ayah si kecil menghela napas prihatin. ”Minggu­minggu ini frekuensinya
                  semakin sering terjadi. Tapi setidak­nya kalian muncul di kamar anakku,
                  tidak serius. Tiga hari lalu, istriku yang hendak pergi ke pasar tiba­tiba
                  muncul di atas wahana kereta luncur. Gila sekali, bukan? Dia tidak
                  muncul di depan pedagang sayur, tapi di tengah orang­orang yang sedang
                  menjerit ketakutan.”


                         Aku menelan ludah, mengangguk, pura­pura mengerti.






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171