Page 184 - Tere Liye - Bumi
P. 184

TereLiye “Bumi”   181









                         KU memeluk Seli yang menangis, menghiburnya, bilang semua akan
                  baik­baik saja, termasuk di kota tempat kami entah berada di mana.
                  Semua juga akan baik­baik saja. Semoga orang­tua kami tidak bereaksi
                  berlebihan.

                         Sebenarnya aku juga butuh dihibur. Aku cemas sekali me­mikirkan

                  Mama di rumah, tapi siapa yang akan menghiburku? Jelas Ali tidak akan
                  menghibur siapa pun. Anak itu memutuskan tidur. Ali  berkata dengan
                  intonasi datar, tidak  ada lagi yang bisa kami lakukan, sebaiknya
                  beristirahat, menyimpan energi buat besok.

                         Aku tahu, apa yang dilakukan Ali adalah pilihan paling rasio­nal.
                  Memang tidak ada yang bisa kami lakukan.  Ini sudah larut, jam di
                  dinding  yang meskipun bentuknya lebih  mirip panci, tapi setidaknya
                  sama dengan jam yang aku kenal, ada dua belas  angka—jarum
                  pendeknya telah menunjuk pukul dua belas. Aku menatap lantai kayu
                  lamat­lamat. Entah di mana pun kami ber­ada, di dunia lain atau bukan,
                  setidaknya malam ini kami punya tempat bermalam dengan tuan rumah
                  yang ramah.


                         Aku menolak tidur di atas ranjang. Ali yang memakainya setelah
                  menurunkan bantal­bantal, seprai, dan selimut. Ranjang itu segera
                  bergerak ke langit­langit kamar. Ali di  atas sana sempat berseru, bilang
                  betapa ajaib kasurnya, bisa menyesuaikan diri dengan kontur badan, juga
                  langit­langit persis di atas kepala­nya mengeluarkan cahaya lembut yang
                  nyaman. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku menghamparkan seprai
                  dan selimut di lantai, tidak lengket, seprainya tebal,  empuk untuk
                  ditiduri. Bantalnya juga menyenangkan, sama seperti kasur yang
                  diocehkan Ali di atas ranjang sana, mengikuti kontur kepala dan badan
                  saat ditindih.

                         ”Kamu harus tidur, Sel,” aku berbisik.


                         Seli menyeka pipinya, mengangguk.


                         ”Atau kamu butuh sesuatu untuk dimakan?” aku bertanya
                  memastikan.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189