Page 333 - Tere Liye - Bumi
P. 333

TereLiye “Bumi”   330




                         Aku menggeleng. ”Pasti masih menyala. Av pasti membuat nyala api

                  di perapian sana tetap menyala berjam­jam, agar dia bisa kembali kapan
                  saja. Av akan membuat banyak rencana cadang­an dalam situasi seperti
                  ini.”

                         ”Aku tidak mencemaskan soal itu, Ra.  Tentu saja  Av akan
                  me­ninggalkan nyala api di sana.  Bagaimana kalau  ada Pasukan
                  Bayangan yang memadamkan api di perapian tersebut?”


                         ”Tidak sembarang anggota Pasukan Bayangan bisa masuk ke dalam
                  ruangan tersebut. Itu tempat paling penting.”

                         ”Bagaimana jika Tamus justru sedang menunggu di depan
                  perapian?”


                         ”Itu lebih baik, kita bisa segera menyerang dia,” jawabku ketus.
                  Tidak bisakah Ali berhenti bertanya? Tekadku sudah bulat. Sejak tadi aku
                  memutuskan berhenti bertanya dan cemas.

                         ”Baiklah. Mari kita mencoba peruntungan kita.” Ali meng­angguk,
                  mengeluarkan        kantong      bubuk      api    dari    ran­sel.     ”Kamu      mau
                  melakukannya, Ra?” Ali mengulurkan tangan­nya.


                         ”Biar aku yang melakukannya.” Seli melangkah maju sambil
                  nyengir. ”Kamu kan yang bilang, aku penyuka matahari, jadi apa pun
                  yang berhubungan dengan api adalah keahlianku, bukan keahlian
                  Makhluk Rendah.”


                         Ali ikut nyengir, mengulurkan kantong api ke Seli.

                         ”Seperti yang dijelaskan Av, cukup kamu taburkan ke atas
                  perapian, lantas kita bersama­sama memikirkan ruangan  Bagian
                  Terlarang. Seharusnya tidak sulit. Kita tinggal melangkah masuk ke
                  dalam nyala api.”


                         Seli mengangguk, menjumput segenggam bubuk api dari kan­tong,
                  lantas menaburkannya ke dalam  perapian. Nyala api lang­sung
                  membesar, menjilat tinggi. Kami refleks melangkah mundur,  jeri
                  menatapnya, tapi tidak ada waktu lagi untuk cemas. Aku sendiri yang
                  meminta kami pergi ke gedung per­pustakaan.






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   328   329   330   331   332   333   334   335   336   337   338