Page 46 - Tere Liye - Bumi
P. 46

TereLiye “Bumi”   43




                  belanjaan di dapur, beres­beres sebentar, lantas buru­buru menyingkir

                  sebelum Mama menyuruhku membantu memasak. ”Ra ke kamar ya, Ma,
                  ada PR.” Aku meraih kotak es krim ba­tang­anku, dan sebelum Mama
                  berkomentar, aku sudah menuju ruang tengah, diikuti si Putih.

                         Setelah lima belas menit mengerjakan PR matematika dari Miss
                  Keriting, aku berpendapat bahwa yang menyusun jadwal pe­lajaran kelas
                  X­9 pasti genius seperti Ali. Bayangkan, dua hari berturut­turut pelajaran
                  pertamanya adalah matematika—mood­ku menyelesaikan PR langsung
                  menguap. Mataku me­mang me­natap angka­angka di atas kertas, tetapi
                  kepalaku me­mikirkan hal lain.


                         ”Kira­kira si Hitam ke mana ya, Put?” Aku beranjak meraih si Putih
                  yang melingkar anggun di ujung kaki, menemaniku me­ngerjakan PR.

                         Si Putih hanya mengeong. Mata bundarnya mengerjap ber­cahaya.


                         ”Atau jangan­jangan tadi dia menemukan kucing betina  ya, Put?
                  Jatuh cinta? Jadi minggat?” Aku nyengir dengan ide yang melintas jail itu.
                  Si Putih tetap mengeong seperti biasa, manja minta dielus dahinya. Aku
                  tertawa sendiri.  Itu ide buruk. Sepertinya aku harus membaca buku
                  tentang kucing lagi, supaya tahu kenapa kucing minggat dari rumah. Iya
                  kalau cuma minggat? Kalau kenapa­napa? Aku menelan ludah, buru­
                  buru mengusir jauh­jauh  kemungkinan buruk itu. Atau  jangan­jangan
                  Mama benar? Memang hanya ada satu kucing di rumah ini sejak dulu. Si
                  Hitam hanya imajinasiku. Teman ”lain”. Aku menelan ludah lagi, buru­
                  buru mengusir penjelasan itu.


                         Aku tahu persis ada dua kucing di rumah ini. Aku menamai yang
                  satu si Hitam dan  satunya lagi si Putih karena meski nyaris ter­lihat
                  sama, dua kucing itu berbeda. Warna bulu yang me­ngelilingi bola mata
                  mereka berbeda. Si Hitam seperti mengena­kan kacamata hitam tipis, dan
                  si Putih sebaliknya.

                         Hingga Mama meneriakiku agar segera mandi, bergegas turun
                  makan malam, aku lebih sibuk memikirkan kucing­kucing itu dibanding
                  PR matematika. Sempat untuk kesekian kali aku berusaha mencari si
                  Hitam, berkeliling rumah dengan kedua telapak tangan menutupi wajah,
                  agar  Mama tidak  melihatku. Si Hitam tidak ada di mana­mana, di







                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51