Page 45 - Tere Liye - Bumi
P. 45
TereLiye “Bumi” 42
mau ke toko buku?” Mama bertanya, mendorong troli masuk ke lorong
detergen dan temantemannya.
”Buku yang kemarinkemarin saja belum Ra baca. Lagian banyak
PR dari guru, Ma. Nggak sempet baca novel.” Aku menggeleng.
”Nah, lalu jatah uang bulanan buat beli bukumu kamu pakai buat
apa?” Mama menunjuk dompetnya di saku. ”Buat nambahin beli
keperluan Mama saja ya.” Mama mengedipkan mata.
”Nggak boleh. Curang,” aku buruburu berseru, memotong.
”Sebentar, Ra punya ide lebih baik.”
Aku bergegas meninggalkan Mama, pindah ke lorong lain di
supermarket. Aku kembali lima menit kemudian, saat Mama sudah
mendorong troli di lorong minyak goreng dan temantemannya. Aku
tersenyum, meletakkan satu kotak es krim batangan ke dalam troli. ”Ide
bagus, kan?”
Mama menghela napas, tidak berkomentar. Itu pula enaknya pergi
bersama Mama, aku bebas belanja apa saja sepanjang itu memang
jatahku.
Persis jam tangan menunjukkan pukul lima sore, aku dan Mama
membawa kantong plastik belanjaan ke parkiran motor. Jalanan semakin
padat, suara klakson dan asap knalpot bergabung dengan kesibukan
orang pulang kantor dan aktivitas lainnya. Setelah hujan sepanjang pagi
tadi, langit sore ini terlihat bersih, awan tipis tampak jingga oleh matahari
senja. Mama gesit mengemudikan Vespanya, menaklukkan kemacetan.
Satu tanganku memegangi belanjaan, satu tangan lagi berpegangan.
Rambut panjangku berkibar keluar dari helm.
”Jangan bilangbilang Papa kita ngebut, ya,” Mama berseru.
Aku tertawa, tidak menimpali.
***
Tiba di rumah, tetap hanya si Putih yang berlarilari
menyambutku. Aku menelan ludah, hendak menggendong kucingku—
namun urung, takut Mama mengomel. Aku membantu meletakkan
http://pustaka-indo.blogspot.com