Page 79 - Tere Liye - Bumi
P. 79

TereLiye “Bumi”   76











                           NI akan jadi momen paling ganjil sejak aku remaja. Aku melotot,
                  hendak mengusir Ali dari halaman rumah. Di sam­pingku Seli bengong
                  melihat penampilan Ali yang berubah, susah membedakannya dengan
                  pemain drama Korea favoritnya. Sementara Ali tersenyum lebar seolah
                  tidak ada masalah sama sekali, seolah aku dan Seli  memang habis
                  bercakap sebal karena Ali tidak kunjung datang untuk belajar bareng.


                         ”Ra, Seli, kenapa kalian malah bengong di situ?” Mama yang tidak
                  memperhatikan, telanjur masuk ke ruang tamu, menoleh, kepalanya
                  muncul dari bingkai pintu. ”Ayo, ajak  temanmu ma­suk.  Ayo, Nak Ali,
                  masuk.”

                         Sebelum aku bereaksi atas tawaran Mama—misalnya dengan
                  mencak­mencak mengusir Ali, anak itu mengangguk amat sopan, (pura­
                  pura) malu melangkah ke teras.


                         ”Anggap saja rumah sendiri, ya.” Mama tersenyum.


                         ”Iya, Tante.” Ali mengangguk lagi.

                         Aku benar­benar kehabisan kata. Aduh, kenapa Mama ramah sekali
                  pada si biang kerok itu? Aku menyikut Seli, menyadar­kan ekspresi wajah
                  Seli yang berlebihan, mengeluh kenapa Seli juga ikut tertipu dengan
                  tampilan baru Ali. Aku bergegas ikut melangkah masuk ke ruang tamu.


                         ”Nak Ali mau minum apa?”

                         ”Nggak usah, Tante. Nanti merepotkan.”


                         ”Tentu saja tidak. Tunggu sebentar ya, Tante siapkan di dapur.”

                         Belum sempurna hilang punggung Mama dari bingkai pintu, aku
                  sudah loncat, mencengkeram lengan baju Ali. ”Kamu, ke­napa kamu
                  datang, hah? Tidak ada yang mengajakmu belajar bareng?”


                         Ali hanya nyengir. ”Aku datang baik­baik lho, Ra.”






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84