Page 84 - Tere Liye - Bumi
P. 84

TereLiye “Bumi”   81




                  lewat sela­sela tirai jendela. Semoga si  Hitam, di mana pun dia minggat

                  sekarang, juga baik­baik saja. Hujan deras seperti ini, semoga dia
                  menemukan loteng kering untuk tidur. Sudah dua hari kucingku itu tidak
                  pulang. Aku refleks memegang jidatku.

                         Aku juga memeriksa buku PR matematika dari Miss Keriting, duduk
                  di atas kasur. Lima menit sibuk membolak­balik halaman, tidak ada yang
                  istimewa, hanya buku PR­ku seperti biasa. Aku mengingat­ingat pesan
                  Miss Keriting, apa  dia bilang? Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak
                  seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti
                  yang  kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat­tempat yang
                  hilang. Entahlah. Kalimat itu aneh sekali.


                         Hujan di luar semakin deras. Aku hendak memasukkan buku­ku
                  kembali ke dalam tas, tapi sepertinya tasku ketinggalan di ruang televisi.

                         Ah, rasanya malas turun mengambil tas. Jadi aku beranjak, duduk
                  di kursi belajar,  menatap cermin besar, memperhatikan jerawatku.
                  Jerawatku besar sekali—merah, dengan bintik putih tipis. Aku mematut­

                  matut beberapa menit, akhirnya gemas me­mencetnya. Tidak meletus,
                  hanya menyisakan sakit dan semakin merah di sekitarnya. Aku mengeluh
                  dalam hati, menyesal sudah memencetnya.

                         Pukul sepuluh, langit gelap kembali menumpahkan hujan. Le­bih
                  deras daripada sebelumnya. Kilau petir membuat berkas cahaya di dalam
                  kamar, guntur terdengar  menggelegar. Aku masih termangu menatap
                  jidatku, sudah tiga kali memencet jerawat­ku. Aku menyesal, kupencet
                  lagi, menyesal lagi. Begitu­begitu saja, tambah geregetan.


                         Kenapa pula jerawat ini datang pada waktu yang tidak tepat? Susah
                  sekali membuatnya meletus. Aku menatap cermin dengan kesal. Kenapa
                  aku tidak bisa membuatnya menghilang seperti saat aku membuat
                  tubuhku menghilang dengan menempelkan telapak tangan di wajah?
                  Telunjukku geregetan terus menekan­nekan. Atau aku bisa membuatnya
                  menghilang seperti itu? Aku menelan ludah. Kenapa tidak? Apa susahnya
                  membuat jerawat batu ini hilang? Jangan­jangan, aku bisa menyuruhnya
                  meng­hilang. Telunjukku terangkat, sedikit gemetar menunjuk jerawat
                  itu.








                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89