Page 86 - Tere Liye - Bumi
P. 86

TereLiye “Bumi”   83











                                IAPA kamu?” aku berseru dengan  suara bergetar  bukan
                  karena takut, lebih karena  kaget setengah mati melihat ada sosok yang
                  tiba­tiba berdiri di dalam cermin besar.


                         Ini bukan imajinasiku. Ini nyata, senyata aku berusaha
                  me­ngendalikan napas. Jantungku berdetak amat kencang. Sosok itu
                  benar­benar ada di dalam cermin besar, hanya di dalam cermin, tanpa
                  ada fisiknya di kamarku. Perawakannya tinggi dan kurus. Wajahnya tirus.
                  Telinganya mengerucut. Rambutnya meranggas. Bola matanya hitam
                  pekat. Dia mengenakan—aku tidak tahu, apa­kah itu pakaian atau bukan
                  kain yang seolah melekat ke tubuhnya, berwarna gelap.

                         Sejenak tersengal  menatap sosok itu, aku melompat.  Tanganku
                  refleks menyambar apa saja di atas kasur, mencari senjata, dan

                  mengeluh, karena yang ada hanyalah novel tebal. Sementara suara hujan
                  deras di luar semakin keras, membuat keributan di kamar tidak terdengar
                  hingga ruang tengah, tempat Mama sedang menonton televisi—menunggu
                  Papa pulang. Kilau petir dan gelegar  guntur susul­menyusul. Napasku
                  menderu kencang.

                         ”Siapa kamu?” aku berseru, suaraku serak.


                         ”Aku siapa?” Suara sosok itu terdengar seperti mengambang di
                  langit­langit kamar, seolah dia bicara dari sisi kamar mana pun, bukan
                  dari dalam cermin. ”Kalau mau, kamu bisa me­manggilku ‘Teman’, Nak.”

                         Aku menggeleng, beringsut menjaga jarak. Mataku menyelidik
                  setiap kemungkinan. Tanganku bergetar mencengkeram novel. Kalau
                  sosok ganjil ini tiba­tiba menyerangku, akan kupecahkan cerminnya
                  dengan novel tebal di tanganku—dan semoga dia tidak justru keluar dari
                  cemin pecah itu, malah bisa berdiri nyata di tengah kamarku.


                         ”Kamu mau apa?  Kenapa kamu ada di dalam cerminku?” aku
                  berseru, bertanya, terus berhitung dengan posisiku.








                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91