Page 87 - Tere Liye - Bumi
P. 87

TereLiye “Bumi”   84




                         Sosok itu tidak langsung menjawab. Diam sejenak lima be­las detik.

                  Kucingku si Putih meringkuk tidur,  tidak ter­ganggu de­ngan segala
                  keributan. Menyisakan aku dan sosok tinggi ku­rus di  dalam cermin
                  saling tatap dengan pikiran masing­masing.

                         ”Ini menarik, Nak.” Sosok itu akhirnya bersuara setelah
                  me­natap­ku        lamat­lamat.      ”Kebanyakan        orang      dewasa      menjerit
                  ke­takutan melihat cermin di hadapannya yang tiba­tiba berisi bayangan
                  orang lain. Ini menarik sekali, rasa penasaran yang kamu miliki ternyata
                  lebih besar dibanding rasa takut. Rasa ingin tahu yang kamu miliki
                  bahkan lebih besar dibanding me­mikirkan risikonya. Aku siapa? Kamu
                  selalu bisa memanggilku ‘Teman’.  Apa mauku? Apa lagi selain
                  menemuimu?”


                         Aku menggeleng, memutuskan tidak mudah percaya, berjaga­jaga
                  kalau ada sesuatu  yang mencurigakan. Tanganku semakin dekat untuk
                  melemparkan novel tebal ke arah cermin.

                         Sosok tinggi kurus itu mengangguk. ”Baik, kamu benar, aku

                  mungkin  bukan teman. Tidak ada teman yang datang  lewat cermin,
                  bukan? Membuat semua akal sehat terbalik. Siapa pula yang akan riang
                  gembira saat sedang menatap cermin tiba­tiba ada sosok lain di
                  dalamnya. Sayangnya, kita tidak leluasa ber­temu. Belajar dari
                  pengalaman dua hari lalu, kini aku tidak bisa berharap kamu akan
                  bersedia menangkungkan telapak tanganmu ke wajah, bukan? Mengintip
                  dari sela jari agar aku bisa terlihat berdiri di kamar ini. Kamu pasti tidak
                  mau melaku­kannya.”

                         Angin kencang yang menyertai hujan di luar membuat tetes air
                  menerpa jendela kaca. Aku tetap berusaha konsentrasi me­natap sosok
                  tinggi kurus di dalam cermin.


                         ”Sayangnya ini pertama kali kita berbicara. Kamu belum siap
                  mendengar penjelasan, Gadis Kecil. Sebesar apa pun bakat yang kamu
                  miliki sekarang, kamu belum siap. Jadi aku tidak akan lama. Dua hari
                  lalu, amat mengejutkan ternyata kamu bisa me­lihatku, tapi kupikir itu
                  kebetulan. Malam ini, kamu mampu melakukan hal yang lebih menarik,
                  berhasil menghilangkan jerawat di wajah, karena itu aku memutuskan
                  sudah saatnya menyapa.”






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91   92