Page 16 - TOKOH-TOKOH NASIONAL
P. 16
karena tak ada orang lain yang mau tinggal denganku di kamar
yang gelap. (Cindy Adams, “Penyambung Lidah Rakyat”)
Makan, uang kos besarnya 11 rupiah, atau dalam
perhitungan kasar empat dollar sebulan. Bapak mengirimiku uang
12, 5 rupiah, yang menyisakan 50 sen untuk uang saku. Tahun
1917 bapak dipindah ke Blitar. Disana ia mendapat gaji yang lebih
tinggi, hingga dapat mengirimiku 1, 5 rupiah untuk uang saku
setiap bulannya.
Memang tidak murah bagi seorang inlander untuk bersekolah
di HBS. Disamping harus membayar 15 rupiah setiap bulan untuk
uang sekolah dan pet seragam bertuliskan HBS, kami harus
mengeluarkan lagi 75 rupiah setiap tahun untuk uang buku. “Aku
ingat betul jumlah ini, karena aku menghitung setiap rupiahnya dan
menjaganya jangan ada yang terpakai untuk hal-hal yang tidak
perlu.” (Cindy Adams)
Di kamar inilah Soekarno belajar pidato meniru gaya pidato
Tjokroaminoto. Soekarno memang rajin mengamati teknik orasi
Ketua Sarekat Islam itu. Ia sangat terkesan melihat bapak kosnya
berpidato di depan ribuan pendukung Sarekat Islam. Pidatonya
yang menggelegar itu sanggup membangkitkan nasionalisme para
pengikutnya. Tjokro tak terlalu hirau pada intonasi. Pidatonya
lurus dan to the point. “Soekarno menambah unsur intonasi dalam
pidato-pidatonya yang memikat,”
Pesan yang diberikan Tjokro kepada muridnya ialah “Jika
Kalian Ingin menjadi Pemimpin Besar, Menulislah Seperti Wartawan
dan Bicaralah Seperti Orator” perkataan inilah yang membius
Soekarno sehingga setiap malam berteriak belajar pidato hingga
membuat kawannya yaitu Musso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono,
dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya | 14