Page 99 - TOKOH-TOKOH NASIONAL
P. 99

duniaku  yang  gelap  ini  terdapat  sebuah  meja  reyot  tempatku

                  menyimpan  buku,  sebuah  kursi  kayu,  sangkutan  baju  dan  sehelai

                  tikar pandan. Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal.

                         Surabaya  di  waktu  itu  sudah  mengenal  gemerlapnya  lampu
                  listrik.  Setiap  kamar  mempunyai  stop  kontak  dan  setiap  anak  kos

                  membayar  ekstra  untuk  memakainya.  Hanya  kamarku  yang  tanpa

                  penerangan  listrik.  Aku  tidak  punya  uang  untuk  membeli  bohlam.

                  Aku belajar sampai jauh malam dengan memakai pelita. Bahkan aku

                  tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi tempat tidur supaya

                  terhindar dari nyamuk. Kamar itu kecil seperti kandang ayam. Tidak

                  ada udara segar dan menjadi sarang serangga tetapi karena tak ada
                  orang lain yang mau tinggal denganku di kamar yang gelap. (Cindy

                  Adams, “Penyambung Lidah Rakyat”)

                         Makan, uang kos besarnya 11 rupiah, atau dalam perhitungan

                  kasar empat dollar sebulan. Bapak mengirimiku uang  12, 5 rupiah,

                  yang  menyisakan  50  sen  untuk  uang  saku.  Tahun  1917  bapak

                  dipindah ke Blitar. Disana ia mendapat gaji yang lebih tinggi, hingga

                  dapat mengirimiku 1, 5 rupiah untuk uang saku setiap bulannya.
                         Memang  tidak  murah  bagi  seorang  inlander  untuk  bersekolah

                  di  HBS.  Disamping  harus  membayar  15  rupiah  setiap  bulan  untuk

                  uang  sekolah  dan  pet  seragam  bertuliskan  HBS,  kami  harus

                  mengeluarkan  lagi  75  rupiah  setiap  tahun  untuk  uang  buku.  “Aku

                  ingat  betul  jumlah  ini,  karena  aku  menghitung  setiap

                  rupiahnya  dan  menjaganya  jangan  ada  yang  terpakai  untuk

                  hal-hal yang tidak perlu”.
                         Di  kamar  inilah  Soekarno  belajar  pidato  meniru  gaya  pidato

                  Tjokroaminoto.  Soekarno  memang  rajin  mengamati  teknik  orasi

                  Ketua Sarekat Islam itu. Ia sangat terkesan melihat bapak kosnya

                  berpidato  di  depan  ribuan  pendukung  Sarekat  Islam.  Pidatonya

                  yang  menggelegar  itu  sanggup  membangkitkan  nasionalisme  para



                                                Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya | 97
   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104