Page 18 - Kebijakan Cultuurstelsel Belanda di Karesidenan Madiun
P. 18
serta menjadi manajer puncak produksi perkebunan bersama residen. Dalam
menjalankan fungsinya tersebut para bupati dibantu oleh priyayi. Adapun
sejumlah priyayi yang memiliki wewenang birokrat diantaranya patih,
kliwon, mentri, jaksa dan lainnya. Sedangkan sejumlah priyayi yang memiliki
wewenang teritorial diantaranya wedana dan asisten wedana (camat).
Adapun selama pelaksanaan Cultuurstelsel tersebut, priyayi juga
bekerjasama dengan pegawai sipil Belanda yaitu Binnenlandsch Bostuur
(BB). Bahkan dalam menjalankan tugasnya tersebut, BB dan priyayi sering
melakukan diskusi untuk menentukan jenis tanaman, tempat menanam, dan
kelanjutan dari tanaman tersebut (Ham, 2018 : 104).
Adapun penanaman komoditas kopi di wilayah keresidenan Madiun
mulai berlaku sejak turunnya resolusi 10 Desember 1832 No. 10, bahwa
setiap keluarga atau rumah tangga petani dalam kurun waktu 3 tahun wajib
menanam dan memelihara 600 pohon kopi. Bayaran yang diterima oleh
petani kopi tersebut, tergantung pada harga kopi dipasaran. Keuntungan
besar yang diperoleh Belanda dari penanaman kopi tersebut, menjadikan kopi
sebagai komoditas utama di Keresidenan Madiun. Berikut adalah laporan
penanaman kopi di keresidenan Madiun tahun 1834-1880 (Margana, 2017 :
121 ).
Periode Hasil Panen Nilai Pembayaran Jumlah Tenaga
(metrik ton) (gulden) Kerja (Jiwa)
1836-1840 7.893 807.405 85.454
1841-1845 17.357 1.685.502 89.031
1846-1850 19.344 1.661.538 81.932
1851-1855 16.363 1.385.457 74.051.5
1856-1860 11.369 1.448.783 79.830
1861-1865 13.153 2.431.182 84.481
1866-1870 18.880 3.922.285 159.702
1871-1875 17.455 3.779.386 190.177
16 | P a g e