Page 24 - Kebijakan Cultuurstelsel Belanda di Karesidenan Madiun
P. 24
dan daerah timur lainnya akibat pembangunan jalur kereta api Madiun-
Surakarta (Ham, 2018 : 204).
Adapun dampak ekonomi akibat pelaksanaan Cultuurstelsel ini semakin
terlihat pada tahun 1870. Seiring berkembangnya sistem ekonomi liberal,
masyarakat pedesaan mulai bergantung dengan uang. Bahkan pajak mulai
dibayarkan dengan uang. Meningkatnya kebutuhan uang masyarakat pedesaan
tersebut, juga disebabkan oleh banyaknya transaksi masyarakat pedesaan yang
menggunakan uang. Pada tahun 1905 Pemerintah Belanda mengijinkan
penduduk desa untuk menganti kerja bakti dengan uang. Hal ini berlangsung
sampai dihapuskannya kerja bakti pada tahun 1916. Adapun dampak dari
ekonomi uang lainnya adalah banyak masyarakat desa dan petani yang ingin
meningkatkan pendapatannya. Dimana banyak masyarakat yang ingin
meningkatkan pendapatan pribadinya melalui Sawah cakaran yaitu,
menggarap tanah di pekarangan rumah petani kaya. Bahkan Sawah cakaran ini
banyak terjadi di daerah Ponorogo (Ham, 2018 : 205).
Setelah pemerintah Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal, banyak
modal swasta masuk ke Indonesia. Melalui undang-undang agrarian atau
Agrarische Wet yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, para investor
diperbolehkan untuk menyewa lahan pertanian selama 70 tahun dan bisa
diperpanjang. Hal ini menyebabkan berbagai perusahaan perkebunan dan
pabrik besar berdiri di wilayah Madiun. Sekitar tahun 1880, perkebunan-
perkebunan besar di wilayah Kabupaten Madiun semakin meluas, bahkan pada
tahun 1882 berdiri berbagai pabrik gula dan ratusan hektar lahan tanaman tebu
di Kabupaten Madiun. Pabrik pabrik gula tersebut, meluas hingga luar
kabupaten Madiun. Adapun pabrik gula tersebut berdiri di Pagotan, Sentul,
Keniten, Bulu, Maospati, Gorang Gareng, dan pabrik Cina Redjo Agung di
daerah Madiun kota. Hingga akhir periode kolonial tercatat dua pabrik besar
swasta yang berdiri di Kabupaten Madiun, yaitu Purwodadi milik A. Baron
Sloet van Oldruitenborgh dan Redjosari milik J.C. Van Oosterom (Margana,
2017 : 127).
22 | P a g e