Page 306 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 306

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    1. Dangding sufistik dan pemertahanan keberaksaraan lokal

                                    Dangding sufistik Mustapa lahir dalam suasana transisi di mana budaya cetak mulai
                                    diperkenalkan Belanda pada awal abad ke-19 dan secara perlahan menggeser
                                    budaya naskah. Dangding sebagai bagian dari tradisi budaya bangsawan Sunda
                                    saat itu, secara berangsur-angsur kehilangan posisi dominannya. Sajak bermatra
                                    semacam ini yang semula dianggit sambil ditembangkan mulai tersisihkan
                                    ketika budaya cetak lahir. Mikihiro mencatat apa yang ia sebut sebagai efek
                                    penyusunan kembali kesadaran (restructures  consciousness) yang jauh lebih
                                    dahsyat dari yang diperkirakan Belanda dan dirasakan hingga saat ini.
                                                                                                            191
                                    Dari efek tradisi lisan di mana sifat oral-aural terasa begitu kuat bergeser ke
                                    keberaksaraan cetak yang mengandalkan pembacaan dalam diam. Dangding
                                    semakin jarang ditulis dan diperdengarkan digantikan sejumlah karya sastra
                                    Sunda  modern.  Ia mengalami  kegamangan.  Meski  kegamangan  ini  belum
                                    membuahkan  ambivalensi  perubahan  sebagaimana dalam kasus  Geguritan
                                    Nengah Jimbaran  di Bali. Di satu sisi, ia berusaha mengikuti perkembangan
                                    sastra Indonesia modern yang didominasi cerpen dan novel, tetapi di sisi lain
                                    ingin pula mempertahankan identitas lokalitas sastra. 192

                                    Namun kendati tradisi dangding semakin merosot di era pasca perang—meski
                                    belum sepenuhnya ditinggalkan,  dangding  Mustapa turut pula berkontribusi
                                    dalam menciptakan identitas Islam dilihat dari keberaksaraan sastra lokal yang
                                    menyerap aksara Arab (pegon) berhadapan dengan aksara lokal (kaganga dan
                                    hanacaraka).

                                    Sekitar abad ke-15 hingga 17, di saat Muslim Melayu mulai mengadopsi
                                    aksara Arab sebagai ekspresi sastra, orang Sunda mulanya cenderung
                                    mempertahankan aksara dan bahasa sastranya sendiri. Rupanya bagi mereka,
                                    bahasa merepresentasikan batasan yang kuat dalam menjaga penetrasi unsur
                                    asing dan membentuk dasar-dasar perasan identitasnya.  Namun, derasnya
                                                                                           193
                                    arus Islamisasi membuat upaya vernakularisasi tak terhindarkan. Tidak sekedar
                                    sadur, alih bahasa atau terjemah, vernakularisasi mengindikasikan pengolahan
                                    berbagai gagasan ke dalam bentuk bahasa dan budaya lokal hingga menjadi
                                    sesuatu yang lazim. Akhirnya banyak bahasa Arab yang selanjutnya meresap ke
                                    dalam bahasa lokal itu. 194

                                    Naskah Carita Parahiyangan yang disusun pada akhir abad ke-16 merupakan
                                    bukti tertua masuknya kosakata bahasa Arab ke dalam perbendaharaan bahasa
                                    Sunda. Di dalam naskah ini terdapat empat kata yang berasal dari bahasa Arab
                                    yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja’).  Terdapat sedikitnya dua
                                                                                     195
                                    kemungkinan alasan pemertahanan bahasa Arab dalam bahasa lokal tersebut.
                                    Selain karena mempertahankan kesakralan bahasa Al-Qur’an itu, juga pengunaan
                                    terjemahan bahasa Sunda dianggap tidak mencukupi, karena bahasa Al-Qur’an
                                    itu bukan hanya tidak memadai untuk diterjemahkan melainkan pada intinya
                                    tidak dapat diterjemahkan.  Dari sisi ini, aksara pegon dalam dangding sufistik
                                                             196
                                    Mustapa semakin mengokohkan identitas Islam itu.





                    292
   301   302   303   304   305   306   307   308   309   310   311