Page 437 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 437
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3
43 Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,” dalam J.P. Piscatori (ed.),
Islam in the Political Process, Cambridge: Cambridge Universty Press, 1989, hal.199.
44 Sebagai gambaran, sebagaimana dikutip Fachry Ali dari Wertheim (1956) dan Feith (1958:
32), lima tahun setelah merdeka (tahun 1950), Indonesia hanya memiliki sekitar 240
lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan hanya sedikit sekali yang mampu membaca/
berlangganan koran-koran yang berbahasa Indonesia, Belanda dan Cina.
45 Lihat Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan Keharusan Demokratisasi dalam
Islam Indonesia, Cet. 1, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
46 Tentang Islam Kultural lihat misalnya, A. Syafii Maarif, “Proses Santrinisasi Politik di
Indonesia” Jawa Pos, 15 April 1994; Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan
Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, Cet. 1, Surabaya: Risalah Gusti, 1996;
Carool Kersten, ‘Cosmopolitant Muslim Intellectuals and the Mediation of Cultural Islam
in Indonesia,’ Comparative Islamic Studies, Vol 7, no 1-2, 2011.
47 M.C.Ricklefs, Mengislamkan Masyarakat Jawa. Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya
dari 1930 sampai Sekarang, Serambi, 2012.
48 Hefner,. “Islamization and Democratization,….hal.78.
49 Jeff Lee, ‘The Failure of Political Islam in Indonesia: A Historical Narrative,’ Stanford Journal
of East Asian Affair, Volume 4, Number 1, 2004, hal. 101.
50 Penelitian itu di Yogyakarta pada tahun 1990an. Mayoritas masyarakat disitu asalnya
PNI dan PKI dan tidak ada sarana ibadah. Muhammadiyah kemudian masuk kesitu dan
merubah masyarakat menjadi lebih Islami. Lihat juga Ricklefs, Mengislamkan Masyarakat
Jawa,…..hal.358.
51 Studi-studi terakhir tentang abangan Jawa, bukan hanya menyimpulkan abangan telah
bermetamorfosis menjadi santri dan trikotomi Geertz sudah tidak lagi relevan untuk
membaca peta Islam Indonesia, tetapi belakangan banyak tulisan-tulisan yang mempertegas
bahwa Islam kejawen sesungguhnya bukanlah sesuatu yang non-Islam melainkan sebuah
varian kultural yang absah dalam Islam. Setelah Hodgson (1974) mengkritik Geertz, muncul
para pembela Jawa mulai dari para pengkritik Geertz sendiri kemudian Woodward (1999,
2010), dan Simuh (2003) yang membuktikan bahwa kejawen sesungguhnya adalah Islam.
Perpaduan Islam dan Jawa, menurut Simuh, merupakan padanan yang saling mengisi,
karena sinkretik tidaknya tergantung perspektif, apalagi menggangapnya bukan Islam.
“Interaksi Islam dengan budaya Minang dan Melayu membentuk perpaduan yang sintetik.
Sebaliknya, interaksi antara Islam dan budaya Jawa, menghasilkan bentuk Islam yang
sinkretik, akan tetapi, diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi relativitas proses sosial
ini. Misalnya, interaksi Islam dan budaya Jawa jika ditinjau dari persepktif Islam memang
telah memunculkan Islam yang bercorak sinkretik. Sebaliknya, jika dilihat dari perspektif
perkembangan budaya Jawa, yang terjadi adalah proses sintetik yang amat serasi” (Simuh
2003: 47). Dalam bukunya Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Simuh membahas kritis
kaitan antara Islam, Jawa dan Barat sebagai suatu hubungan yang filosofis, rasional,
toleran dan inklusif yang semuanya tidak menunjukkan pertentangan-pertentangan
kultur yang esensial saling meniadakan. Atas usahanya ini, Fachry Ali menyatakan: “Prof
Simuh adalah orang pertama yang berusaha mengklarifikasi bahwa tidak ada kontradiksi
antara ajaran Islam dan kejawenisme dalam sejarah pemikiran kebudayaan di Indonesia.”
Selain Simuh, Woodward pun melakukan hal yang sama. Ia melacak unsur-unsur Hindu
dalam tradisi Jawa dan tak menemukannya. Tak ada sistem Terevada, Mahayana, Siva
atau Vaisnava kecuali hal-hal sepele. Tradisi wayang yang berdasar epik Mahabarata dan
Ramayana, dimata Woodward juga tak tampak India. Ritual-ritual keraton dan mistik
kejawen adalah sebuah derivasi Islam. Terlepas dari kelemahan perspektif para pembela
Jawa ini, seperti dikiritik Martin van Bruinessen dan Paul Strange bahwa pembelaan
budaya Jawa hanya berlandaskan sumber-sumber sekunder pada studi entografis yang
terbatas, termasuk pada Woodward, usaha-usaha itu menunjukkan fenomena keinginan
kuat mengintegrasikan budaya Islam dengan Islam atau perasaan ketertinggalan bila tak
diidentikan dengan Islam yang dewasa ini, menurut Woodward, “Islam di Indonesia adalah
sebuah realitas yang tidak dapat disepelekan … Indonesia dewasa ini adalah sebuah
Indonesia yang tampak lebih Islami, dalam bentuk yang tegas dan sadar diri, dibanding
421