Page 436 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 436
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3
35 Al-Palimbani dari Palembang menulis beberapa karyanya yang berkaitan dengan Imam
Al-Ghazali yang kemudian dikenal sebagai karya-karyanya yang terkenal yaitu Fadhā’il
Al-Ihyā’ li Al-Ghazãli, Hidãyat Al-Sālikīn fi Suluk Maslak Al-Muttaqīn, Sayr Al-Sālikīn ila
‘Ibādah Rabb Al-‘Alamīn dan lain-lain.
36 Yusuf al-Maqassari dari Sulawesi Selatan juga menulis beberapa karya, diantaranya
Safīnat Al-Najāh, Al-Nahfat Al-Saylāniyyah, Muthālib Al-Sālikīn, Taj Al-Asrār, Al-Fawā’ih
Al-Yusufiah, Zubdat Al-Asrār dan lain-lain.
37 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama. Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VXII
dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Mizan, 1994.
38 Robert W Hefner,. “Islamization and Democratization in Indonesia.” dalam Robert W.
Hefner and Patricia Horvatich (eds.), Islam in an Era of Nation-States, Politics and Religious
Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai’i Press, 1997, hal.78.
39 Kasus Tanjung Priok 1984 menyimpan misteri yang besar. Sampai jatuhnya Orde Baru tahun
1998 --berarti selama 14 tahun-- kasus ini tidak terungkap alias dibungkam pemerintah.
Setelah kejatuhan Soeharto --bahkan setelah ada KOMNASHAM sekalipun-- tidak juga
cukup mudah untuk membongkar pembunuhan massal ini walaupun tuntutan keluarga
korban dan masyarakat luas tak henti-henti menuntut kasus ini dibongkar dan agar dua
perwira penting yang bertanggung jawab yaitu Try Sutrisno dan Beny Moerdani digiring
ke pengadilan. Masih kuatnya pengaruh para petinggi militer dan aktor-aktor penting
pemerintahan Soeharto membuat kasus ini terkatung-katung, bahkan sekarang mungkin
sudah dilupakan.
40 Ali Murtopo adalah kepala Operasi Khusus (OPSUS), sebuah lembaga operasi intelijen
yang terkait dengan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang sangat berkuasa
pada tahun 1970-an. Selama masa-masa awal Orde Baru, Ali Murtopo adalah salah satu
orang kepercayaan terdekat Presiden Soeharto (Robison 1986: 148-152). Dia dikenal
sebagai seorang Katolik Cina diantara para penasehat terpercaya. Bersama dengan
aliansi katoliknya, tahun 1970, Ali Murtopo mendirikan CSIS (Center for Strategic and
International Studies). Aliansi ini sangat berperan dalam strategi dibelakang pemilu 1971
dan pembentukan Golkar. Lebih penting dari itu, Ali Murtopo dan aliansinya bertanggung
jawab atas perlakuan kejam dan pencekalan terhadap tokoh-tokoh Islam dan partai politik
pada tahun 1973 (Ward 1974; Boland 1971: 150-153). Singkatnya, iklim politik di awal
Orde Baru menunjukkan ketegangan antara para aktifis Islam, nasionalis sekuler dan
aliansi sosialis Katolik. Lihat juga Hefner,. “Islamization and Democratization,….hal.78.
41 W.F. Wertheim, “Islam in Indonesia: A House Devided,” dalam Malcolm Caldwell (ed.),
Ten Years’ Military Terror in Indonesia, Spokesman Books, 1975, hal.88.
42 Perasaan minoritas di zaman merdeka ini sangat ironis jika kita mengingat bagaimana
jasa dan peranan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan sejak zaman kolonial
sampai pembubaran PKI tahun 1960-an. Sejarah Indonesia abad ke-19 menunjukkan
bagaimana perjuangan gerakan kemerdekaan berbasis ideologi Islam melawan kekuasaan
asing sangat berlimpah sejak Perang Jawa (1825–1930), Perang Aceh (1873–1908),
pemberontakan petani di Banten tahun 1888. Kemudian pemberontakan KH. Zaenal
Musthafa di Tasikmalaya, pemberontakan Cimareme Garut tahun 1917 dan banyak lagi
yang lainnya dalam lingkup yang bervariasi. Untuk studi gerakan pemberontakan melawan
kolonial abad XIX, lihat Sartono Kartodirjo (1966, 1978). Melihat semaraknya gerakan
pemberontakan yang diprakarsai orang-orang Islam, Kahin menyimpulkan, “one of the
most important factors contributing to the growth of an integrated nationalism [which
in turn facilitated] the high degree of religious homogenity that prevailed in Indonesia,
over 90 percent of the population being Mohammedan” (1970: 38). Homogenitas agama
(Islam) yang berperan penting sebagai kendaraan efektif bagi gerakan-gerakan nasional,
bagi Kahin, penting tidak hanya sebagai ikatan massa (commond bond) tetapi karena
agama merupakan “a sort of symbols as against an alien intruder and oppressor of a
different religion.” Lihat George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia,
Cornell Paperbacks, Cornell University Press, Ithaca and London, 1970, terutama Chapter
II, hal. 37 – 63. Lihat juga Adam Schwarz, Nation in Waiting. Indonesia in the 1990s,
Sydney: Allen & Unwin, 1994, hal.129-130.
420