Page 455 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 455
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3
Mahbub menegaskan bahwa PMII berdiri karena HMI tidak mampu menampung
36
aspirasi mahasiswa berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Secara sosio-
historis bisa dikatakan bahwa walaupun berdirinya PMII merupakan cermin
ketidakpuasan sebagian mahasiswa Muslim terhadap HMI, namun keberadaan
PMII tidak bisa dilepaskan dari dukungan NU sebagai organisasi induknya.
Sesuai dengan namanya, PMII diharapkan bisa menjadi organisasi yang dinamis
dan terbuka. Nama “pergerakan” diharapkan mampu menampung aspirasi
dinamis kalangan intelektual muda. Sengaja organisasi ini tidak menggunakan
nama NU sebagaimana organisasi mahasiswa sebelumnya. Hal ini sebagai upaya
untuk membuat PMII sebagai organisasi yang terbuka bagi semua golongan,
khususnya yang aspirasinya belum tersalurkan di HMI. Dinamika mahasiswa
yang progesif diharapkan mampu menjadi sebuah media untuk membentuk
karakter mahasiswa Muslim yang tangguh dan di kemudian hari menjadi bisa
menyumbangkan sesuatu hal yang positif bagi bangsa dan negara.
Seiring dengan pertumbuhan kelas terdidik yang semakin banyak di Indonesia,
PMII tumbuh dan berkembang dengan cepat. Migrasi besar-besaran mahasiswa
tradisionalis ke PMII mempercepat pertumbuhan PMII. Di akhir 1960-an, anggota
PMII sudah mencapai ribuan yang didominasi oleh mahasiswa IAIN. Pada
37
Kongres PMII perta tahun 1961 dihadiri oleh 13 cabang yang masih didominasi
oleh cabang di wilayah Jawa dan Sumatera, sedangkan pada Kongres PMII II
di Yogyakarta dihadiri oleh 31 cabang termasuk dari wilayah Kalimantan dan
Sulawesi. 38
Semangat kebangsaan PMII juga terbukti dengan komitmen organisasi pada
urusan negara. Selain terlibat dalam proses peralihan Orde Lama ke Orde Baru
yaitu masuk dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Aksi
Ketua PMII Pusat ke-16 sampai ke- 21 (kiri ke kanan), Mahbub Junaidi (1960-1967), Muhammad Zamroni (1967-1973), Abduh Paddare (1973-
1977), Ahmad Bagja (1977-1981), Muhyidin Arubusman (1981-1985) dan Suryadharma Ali (1985-1988).
Sumber: Direkorat Sejarah dan Nilai Budaya
439