Page 7 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 7
3. Walaupun saya bukan seorang sejarawan, tetapi saya tahu juga kenangan-kenangan yang
masih hidup pada bangsa kita. Orang Aceh membanggakan hasil pujangganya seperti
Hamzah Fanzuri, Abdullah Al-singkili, maupun Araniri. Pujangga-pujangga itu tidak saja
mengembangkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia, tetapi juga pengetahuan
tentang agama, filsafat, juga sejarah.
4. Di satu saat, ketika Kesultanan Malaka menjadi pusat perdagangan kedua terbesar setelah
Konstanstinopel banyak orang-orang Jawa, Sumatera berdagangan di negeri ini. Ketika
Kesultanan Malaka jatuh, maka muncullah kerajaan-kerajaan baru. Kesultanan Aceh
berdiri, disusul kemudian Kesultanan Demak, serta kerajaan-kerajaan lain di sepanjang
pantai utara Jawa. Perluasan pengaruh juga oleh tentara-tentara Kesultanan Pantai Utara
Jawa. Pada abad ke-18, kita hidup dalam naungan Negara maritim.
5. Bila kita bicara sasra klasik itu, saya juga akan diingatkan pada karya-karya sastra Jawa
yang diajarkan oleh guru sejarah saya dulu, yaitu tentang Negara Kartagama—tentang
Majapahit yang menguasai lautan dan pengaruhnya yang luas dari Sumatera hingga
Papua, yang menambah keakraban kita.
6. Satu karya klasik yang sempat saya baca dan masih saya ingat adalah naskah klasik Tufat
Hanafis. Naskah ini juga sangat menarik bercerita tentang berdirinya Kesultanan Melayu
Riau. Aliansi Melayu dengan Bugis di Kepulauan Riau. Bagi saya naskah ini sangat
menarik, dari naskah ini pula saya mengerti kehebatan Raja Haji pada pertengahan abad
ke- 18 dapat mengalahkan armada Belanda dan dua kapal besar Belanda ditenggelamkan.
Kemudian Raja Haji menyerbu Malaka pada waktu bersamaan Raja Belanda datang.
Diceritakan dalam kitab Raja Haji, bahwa saat itu Raja Haji memegang keris di tangan
kanan dan kitab agama di tangan kiri. Pada saat itulah Raja Haji tertembak saat diserang
oleh Belanda dan gugur dalam serangan itu. Maka diberilah gelar Raja Haji dengan ―Raja
Haji Fisabililah‖. Saat ini Raja Haji telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
7. Bukan saja masa lampau kita yang ditandai dengan kebesaran-kebesaran Negara Maritim,
tetapi kita juga diingatkan pada kehidupan suatu bangsa yang tradisi kesehariannya tidak
lepas dari dunia bahari. Suatu tradisi kemaritiman yang saat itu masih memandang laut
sebagai pemisah. Bila sudah begini saya jadi teringat, bahwa laut bukan saja sebagai
pemisah bagi kita, akan tetapi laut juga merupakan pemersatuan antara satu pulau dengan
pulau yang lainnya.
8. Kalau kita mengunjungi daerah di pulau-pulau di Indonesia, saya teringat seorang
sejarawan kita dengan ―Jaringan Memori Kolektif‖. Orang Bugis – Makasar akan
diingatkan dengan Gowa-Tallo-Makasar. Orang Banjar diingatkan dengan Demak,
bahkan orang Minangkabau mendapat kedalaman Islamnya dari Aceh. Orang Ternate--
Maluku akan diingatkan dengan Tuban. Orang-orang Bima diingatkan oleh Riau. Orang
Papua diingatkan oleh Ternate. Jaringan memori kolektif ini dibangun dengan tradisi
maritim yang kuat. Hubungan antara guru-murid, ulama-umarah, dan jaringan
Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X v | P a g e