Page 12 - Kelas X_Bahasa dan Sastra Indonesia_KD 3.8
P. 12

kuasa menahan rasa bersalah.

                                                                 ***
                                  Sebulan setelah kepergian Bapak. Aku tidak pernah lagi berjumpa Basir. Aku

                            memutuskan berhenti kuliah. Ibu menyesalkan keputusanku.
                                  “Bagaimanapun kamu harus tetap kuliah nduk. Jangan kamu langgar pesan

                            Bapakmu.  Kamu  jangan  mengkhawatirkan  Ibu.  Ibu  masih  mampu  membiayai
                            kuliahmu.” Tukas Ibu lirih.
                                  “Maafkan Yulia Bu. Keputusan Yulia sudah bulat.” Ibu terdiam. Sungguh, aku

                            tak berniat menolak keinginan tulusnya. Di lubuk hati paling dalam. Sebenarnya,
                            aku masih ingin kuliah. Menyelesaikan skripsi dan meraih gelar sarjana. Keadaan

                            memaksaku untuk berhenti.
                                  Aku  tak  tega  melihat  Ibu  mendorong  gerobak  sayur.  Menjajakannya  ke
                            setiap  kampung-kampung.  Kalau  tak  laku,  sore  harinya,  Ibu  kembali  berjualan

                            dipasar. Sedangkan aku hanya duduk belajar, menerima materi dosen serta pulang
                            dengan tangan hampa.

                                  “Yulia akan bekerja menggantikan Ibu. Yulia akan melanjutkan kuliah lagi
                            nanti. Yulia akan menabung sedikit demi sedikit.”
                                  “Ya sudah, terserah kamu ndo. Ibu nda bisa berbuat apa-apa lagi.” Ku peluk

                            tubuh mungil itu.
                                  Tidak membutuhkan waktu lama, aku diterima bekerja di pabrik gula milik

                            Pak Wahyudi, kerabat jauh Bapak. Sehabis bekerja di sana. Aku tak lekas pulang ke
                            rumah.  Para  tetangga  memintaku  mengajar  anak-anak  mereka.  Terkadang,  aku

                            membantu  Mbok  Tijah,  tetanggaku  membungkus  kerupuk  kulit  untuk  dijual  ke
                            pasar. Kupikir dengan cara seperti itu, aku bisa memenuhi kebutuhan kami dan
                            menabung sedikit demi sedikit.

                                  Beberapa bulan berjalan, ternyata semua diluar harapan. Gaji yang kuterima
                            di pabrik gula tak cukup untuk kebutuhan makan aku dan Ibu sehari-hari. Upah

                            yang  kuterima  membungkus  kerupuk  dan  mengajar  ngaji  hanya  cukup  untuk
                            membayar tagihan listrik dan ledeng.

                                  “Bagaimana ini Bu? Sepertinya Yulia harus ke kota besar.” Aku menatap Ibu
                            penuh harapan.
                                  “Tidak  nduk,  Ibu  tidak  mengijinkan.  Seumur-umur  kamu  ndak  pernah

                            meninggalkan rumah. Ibu takut terjadi apa-apa dengan mu nduk. Cukup Bapakmu
                            saja yang meninggalkan Ibu. Kehidupan di kota besar itu keras.” Celoteh Ibu, aku

                            memaklumi kekhawatirannya.
                                                                 ***


                       @2020, Direktorat SMA, Direktorat Jendral PAUD, DIKDAS dan DIKMEN                7
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17