Page 178 - Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat ( PDFDrive )
P. 178
163
7.3 Arsitektur Tradisional Masa Kini dan Masa Datang
Gejala penurunan pengenalan masyarakat terhadap arsitektur
tradisional terasa mulai melanda sampai ke pelosok desa, akibat
masuknya anasir-anasir kekotaan dan proses modemisasi yang kini
berlangsung dalam bentuk perbaikan kampung, pembangunan
perumahan dan sebagainya. Satu di antara akibat masuknya anasir
anasir kekotaan itu ialah kecenderungan masyarakat pedesaan untuk
''hidup yang lain dari masyarakat agraris murni".
Di satu segi, bentuk-bentuk lama dalam arsitektur tradisional
memang masih bertahan seperti
I) Arah hadap rumah ke utara atau ke selatan sebagai arah hadap
paling baik. Di daerah dekat dengan jalan komunikasi antara kota
dan desa, arah hadap tersebut sudah banyak yang dilanggar:
2) Pola panggung dengan fungsi utama pengatur kelembaban udara,
tempat menyimpan alat-alat pertanian atau bahan-bahan membuat
rumah (depository)dan, penjagaan terhadap bahaya banjir.
Di segi lainnya terjadi pula perubahan fungsional terhadap jenis
jenis bangunan yan mengarah kepada hilangnya bangunan-bangunan
tersebut dari khazanah arsitektur tradisional, antara lain bangunan
"leuit" (lumbung) yang dulu dijadikan sebagai simbol (lambang)
kekayaan seseorang (keluarga), kini telah kehilangan fungsi (tidak lagi
untuk menyimpan padi), karena sebelum padi-padi itu dinaikkan dan
dimasukkan ke dalam lumbung, sudah terjual untuk mencukupi
kebutuhan-kebutuhan lain yang dianggap primer. Sebagian masyarakat
sudah menilai bahwa penyimpanan padi dalam lumbung sudah tidak
praktis lagi, lebih disukai menyimpan padi di ruangan rumah seperti
berlaku di daerah Cirebon.
Di samping "leuit", bangunan "bale lebu" (tempat pertemuan atau
musyawarah) sebagai bangunan tradisional yang lebih tua dibanding
dengan bangunan bale desa (arsitektur kolonial), sudah kehilangan
fungsi aslinya. Di desa Martasinga, kecamatan Cirebon Utara
bangunan lama semacam itu berganti fungsi menjadi "bale