Page 395 - anzdoc.com_sejarah-nasional-indonesia-vi
P. 395
bertambah buruk menjadi perang terbuka Indonesia melawan Malaysia-Inggris
(dan Australia-Selandia Baru). Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati
dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang (Evantino, 2009:62).
Presiden Soekarno yang pada prinsipnya menyetujui usul persiden Filipina
itu, mengajukan amandemen kecil sebagai berikut:
1. Presiden RI menyetujui usul presiden Filipina tentang pembentukan
suatu komisi konsiliasi Asia Afrika yang akan terdiri atas empat
anggota, tiga diantaranya dipilih dari Indonesia, Mlaysia, Filipina, dan
yang keempat dipilih dengan suara bulat oleh ketiga anggota itu.
2. Komisi itu akan diminta untuk mempelajari masalah-masalah yang ada
antara ketiga negara dan menyampaikan saran-saran komisi itu
3. Perdana Menteri Malaysia pada prinsipnya menyetujui usul itu dengan
pengertian bahwa segala tindakan permusuhan terhadap Malaysia
harus segera dihentikan (Poesponegoro, 2008:467).
Mengenai pertemuan puncak serta hasil-hasilnya itu, pemerintah
Indonesia berpendapat sebagai berikut.
1. Pertemuan puncak itu telah berakhir dengan berhasil penuh bagi
Indonesia dan Filipina, yang keduanya setia pada Doktrin Soekarno-
Macapagal.
2. Indonesia telah menunjukkan kemauan baiknya dengan pergi ke Tokyo
lebih dahulu dan dibiarkan menunggu di sana selama lebih dari satu
minggu, sebelum Malaysia memutuskan untuk hadir.
3. Indonesia bahkan telah memulai penarikan sukarelawan-
sukarelawannya, meskipun Malaysia sama sekali tidak menunjukkan
kemauan baiknya (Poesponegoro, 2008:468).
Akibat dari Pemberontakan G-30 S, maka perhatian dan konsentrasi
kekuatan yang dpusatkan untuk pelaksanaa Operasi Dwikora, kemudian
dipusatkan untuk menanggulangi pemberontakan tersebut. Dengan dilaksanakan
perundingan damai di Bangkok yang berlangsung tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1966
oleh pemerintah RI dan Malaysia, serta ditandatanganinya hasil perundingan
tersebut, maka berakhirlah segala bentuk konfrontasi yang pernah terjadi antara
kedua negara serumpun itu (Sudirman,2014:344).
Sejarah Nasional Indonesia VI 391