Page 36 - New Final HS Mutahar
P. 36

Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 23


                   menyatakan bahwa Presiden Sukarno tumbuh pada masa-masa sulit dan
                   penuh perjuangan. Sebagai orang Jawa Timur bicaranya ceplas ceplos
                   tanpa tedeng aling-aling. Nadanya mungkin terdengar kasar, tetapi
                   memang  itulah  Sukarno. Jika sedang  marah,  kata-katanya  meluncur
                   seperti bombardir. Tapi, secepat itu pula ia minta maaf bila merasa ada
                   kata-katanya yang menyinggung perasaan.

                       Suatu hari, ajudan Sukarno datang ke kediaman Mutahar, dan
                   mengatakan bahwa ia dipanggil untuk menghadap Bapak di istana.
                   Jawaban Mutahar: ”Baik, saya ganti baju dulu dan nanti menyusul ke
                   istana.” Sang ajudan tidak bergeming, ”Pesan Bapak, Pak Mutahar harus
                   ikut bersama saya.” Wah, sepertinya penting sekali, gumam Mutahar
                   dalam hati. Ia kemudian bergegas berangkat ke istana Bogor, dan sesampai
                   di istana langsung menuju ke ruang kerjanya.

                       Sesampainya di ruang kerja, Mutahar melihat muka Presiden Sukarno
                   kusut dan sepertinya sedang marah besar. ”Mut, kamu tahu kenapa aku
                   panggil?” Mutahar menjawab dengan santai: ”Lha ya nggak tahu. Wong
                   Bapak yang manggil saya, mana saya tahu.” ”Aku mau marah!” hardik
                   Bung Karno. ”Ya marah aja. Mau marah kok nunggu saya,” jawab Mutahar
                   sekenanya, karena ia kenal betul sifat Bung Karno.
                       Jawaban Mutahar ternyata membuat Bung Karno benar-benar marah.
                   Dalam bahasa Belanda Bung Karno mengeluarkan unek-uneknya selama
                   hampir dua jam, sementara aku tidak tahu sebabnya, kata Mutahar. “Aku
                   mendengarkan saja, sampai kemarahan itu reda dan akhirnya Sukarno
                   diam. Mutahar kemudian mengatakan: ”Bung, marahnya sudah selesai
                   kan? Kalau sudah, aku tak pulang...” BK langsung melotot ke arahku.
                   Dalam hati, aku berkata, ”Wah, salah omong aku. Bisa-bisa dia marah
                   lagi...” Tapi ternyata tidak, karena matanya kembali meredup. ”Ya sudah,
                   pulang sana!” katanya memerintah. ”Kalau begitu saya pamit,” jawabku
                   sambil keluar dan terus pulang.
                       Lebih lanjut Mutahar mengatakan bahwa selang beberapa saat
                   kemudian, ajudannya datang lagi ke rumah. Ia langsung menyambar, ”Ada
                   apa? Saya dipanggil lagi untuk dimarahi ya?” Sang ajudan cuma mesem-
                   mesem (senyum-senyum): ”Nggak kok Pak Mut, saya disuruh Bapak
                   ngantar ini,” katanya sambil menyerahkan tas, yang setelah ku buka
   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41