Page 106 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 106
adalah lalu lintas perdagangan meliputi kawasan yang jauh lebih luas. Sampai saat
itu beberapa titik telah tersentuh oleh pengaruh luar, yaitu beberapa Semenanjung
Melayu, Sumatra Tenggara, Jawa Tengah, dan Timur/Bali.
Wibisono (2014) kembali mencatat adanya jalur pelayaran antara abad ke-15—
abad 16 M yang menghubungkan Semenanjung Melayu dengan Laut Sulu melewati
pantai utara Kalimantan Utara. Jalur ini menghubungkan Johor, pulau kecil, seperti
Anambas dan Brunei serta Kepulauan Sulu, misalnya Palawan dan pulau kecil
lainnya di sebelah barat Mindanau (Ptak 1992:40). Jalur ini juga terhubung dengan
Pulau Bunguran atau Natuna.
Shinatria (2016) memperkuat pernyataan di atas. Aktivitas perdagangan global
terekam secara baik di kawasan Kepulauan Natuna ini dengan ditemukannya situs-
situs arkeologi, yaitu situs kapal karam dan barang komoditasnya. Kapal karam
merupakan bukti langsung secara arkeologi untuk merekonstruksi aktivitas pelayaran
laut. Data arkeologi menunjukkan pedagang-pedagang dari India, Arab, Persia, dan
Eropa telah singgah dan beraktivitas di perairan Kepulauan Natuna. Hal ini tergambar
pada situs-situs arkeologi bawah air yang berada di perairan Pulau Natuna
Wibisono (2014) bahkan menyebutkan bahwa penemuan jejak kapal karam walaupun
belum dieksplorasi, dari sampel yang diperoleh menunjukkan salah satu muatannya
adalah keramik dari masa Yuan-Ming. Hal itu menunjukkan bahwa Natuna menjadi
salah satu mata rantai jaringan pelayaran yang menghubungkan Cina dengan
Kepulauan Indonesia dan Samudra Hindia. Kelimpahan air dan sumber komoditas
eksotis, seperti gaharu yang sampai sekarang masih dicari agaknya bagian dari tradisi
lama yang dipandang ada kaitannya dengan tujuan atau persinggahan perniagaan itu.
Artinya, data itu menunjukkan bahwa Natuna tidak hanya menjadi tempat pengimpor,
tetapi juga memiliki sumber setempat sebagai andalan atau pengekspor.
Berdasarkan kajian Wibisono (2014), keramik yang ditemukan di Natuna 85 %
berasal dari Cina, hanya sekitar 15 % sisanya berasal dari Vietnam (5%), Thailand
(4%), Eropa (3%), Jepang (2%), dan dari zaman modern (1%). Namun, gambaran
itu tidak harus diartikan bahwa keramik-keramik tersebut masuk ke Natuna secara
serentak. Dapat dikatakan bahwa keramik Cina yang secara bersinambungan masuk
ke Natuna. Hal itu dapat dipahami karena Cina menjadi cikal bakal dari penemu dan
produsen keramik. Besar kemungkinan keramik Cina pada masa itu lebih digemari
daripada lainnya. Kajian Wibisono (2014) juga berhasil mengetahui variasi jenis
keramik yang masuk ke Natuna. Jenis yang cukup banyak adalah mangkuk, piring,
tempayan, dan buli-buli. Jenis mangkuk dan piring merupakan peralatan harian yang
mungkin banyak diperjualbelikan pada masa itu. Dari kajian tersebut, ditemukan
juga data kuantifikasi zaman dari keramik impor ini. Hal ini untuk melihat Natuna
terhadap jaringan perniagaan. Bila dikaitkan dengan awal perkembangan perniagaan,
tingginya intensitas keramik mencapai puncaknya pada abad ke-13—14 M. Paruh
pertama perkembangan dimulai dari abad ke-9—10 M yang terus meningkat abad
ke-11—13 M dan mencapai puncaknya pada masa Yuan abad ke-13—14 M yang
Mutiara di Ujung Utara 89