Page 110 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 110
”Kemudian pada masa Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja rosak sebentar
kemudian baik pula ...” (Virginia Matheson, 1987: 264)
Ramainya perdagangan di Riau Kepulauan menjadi daya tarik tersendiri bagi Inggris
dan Belanda. Pada akhirnya kedua negara tersebuat membuat suatu keputusan yang
dikenal dengan Traktaat London 1824. Semenjak 1824 tersebut, Singapura terus
memperlihatkan kemajuan. Sementara itu, Riau Kepulauan berikut pelabuhannya
mulai tertinggal. Bahkan, lima tahun kemudian, Singapura berhasil menguasai
hampir seluruh pasar yang sebelumnya dikuasai Riau Kepulauan. Di Riau Kepulauan,
Belanda juga terus berupaya mengatasi ketertinggalannya dari Singapura.
Empat tahun setelah Traktaat London 1824, yaitu tahun 1828, pemerintah Belanda
menjadikan Riau sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (Vrijhaven Van
Riouw). Hal itu tertuang dalam surat keputusan pemerintah (Koninkelijk Besluit) No.
104 tanggal 10 April 1828 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1829. Harapan Belanda
dengan memberlakukan Pelabuhan Riau menjadi Pelabuhan bebas adalah agar para
pedagang, baik Bugis maupun pedagang lainnya bersedia kembali ke Riau. Dalam
perkembangnnya upaya pemerintah Belanda untuk menyandingkan Riau dengan
keberhasilan Singapura tidak berhasil. Perdagangan di Riau Kepulauan setelah surat
keputusan tersebut, tidak mampu kembali ke masa kejayaan. Penyebab lemahnya
perdagangan saat itu adalah kecilnya modal dan banyak para pedagang terutama
pedagang gambir yang langsung melakukan transaksi ke Singapura. Demikian juga
para pedagang kopra, timah, dan lain-lain justru langsung ke Singapura membawa
komoditas tersebut. Selain itu, hal itu juga disebabkan oleh terlalu kuatnya daya tarik
Singapura. Demikian juga, Kepulauan Natuna seluruh aktivitas perdagangannya
dilakukan langsung ke Singapura.
Sementara itu, jika berbicara mengenai jaringan pelayaran dan perdagangan di
wilayah Riau (Kepulauan), hal itu tidak dapat dipisahkan dengan peran orang laut.
Gusti Asnan (2016) bahkan menyebutkan tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan
bahwa orang laut memainkan peran yang penting dalam berbagai aspek maritim di
berbagai unit politik (kerajaan atau kedatuan) dan bandar niaga Melayu di Tanah
Semenanjung Malaysia (bagian barat) dan Riau (Kepulauan). Timothy P. Barnard
menyebut bahwa pentingnya peran orang laut di panggung sejarah maritim rantau ini
bisa ditelusuri jauh ke belakang, ke masa-masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya (Barnard
2007:37).
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan yang menjadi besar karena kemampuannya menjalin
hubungan tidak hanya dengan kekuatan adidaya dunia saat itu (seperti Tiongkok),
tetapi juga dengan kerajaan-kerajaan serta kedatuan-kedatuan yang ada di kawasan
rantau Asia Tenggara. Hubungan itu diwujudkan dengan cara menjadikan kerajaan-
kerajaan dan kedatuan-kedatuan itu sebagai daerah vasalnya. Daerah-daerah taklukan
tersebut mengakui kedaulatan Sriwijaya mengarahkan aktivitas niaganya ke Sriwijaya
serta disertai pula dengan pemberian berbagai upeti terhadap Sriwijaya (Wolters
1967: 187; Osborne 1985:29—30).
Mutiara di Ujung Utara 93