Page 111 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 111
Orang laut pada periode itu berperan sebagai “kaki-tangan” Sriwijaya. Penguasa
Sriwijaya mampu menciptakan hubungan patron-client antara dirinya dan orang
laut sehingga orang laut tidak hanya mengakui kedaulatan penguasa Sriwijaya, tetapi
juga “menghambakan dirinya” dengan jalan mengarahkan semua aktivitasnya bagi
kejayaan Sriwijaya. Selain itu, karena mereka tinggal dan beroperasi di laut, aksi-aksi
yang mereka lakukan adalah mengarahkan para pelaut dan pedagang untuk datang
ke dan berniaga di kota bandar Sriwijaya. Sebagai “anak buah” yang loyal, mereka
tidak segan bertindak keras atau memaksa pelaut atau saudagar untuk datang ke dan
berniaga di Sriwijaya. Di samping itu, mereka memelihara keamanan di laut, dalam
arti mengantisipasi semua gangguan yang akan dilakukan oleh pihak-pihak lain
yang ingin mengganggu kedaulatan Sriwijaya atau ingin mengganggu ketertiban dan
keamanan, pelayaran, serta perdagangan Sriwijaya (Barnard 2007: 36).
Peran tersebut tetap berlanjut ketika kerajaan-kerajaan Melayu berpindah ke Riau
Kepulauan, Tanah Semenanjung Malaysia (Malaka) dan kembali ke Riau (Kepulauan).
Peran mereka mulai berkurang sejak permulaan abad ke-18, terutama setelah
masuknya kelompok masyarakat lain di nusantara ke dalam lingkaran Kerajaan
Melayu. Bila dilihat dari catatan sejarah tersebut, bisa dikatakan bahwa orang laut
telah memainkan peran yang penting dalam berbagai aspek politik dan ekonomi
kerajaan-kerajaan Melayu selama beberapa abad.
Karena wilayah kekuasaan Sriwijaya mencakup hampir seluruh perairan Asia
Tenggara, aksi orang laut ini juga dilakukan di hampir semua perairan rantau, seperti
di Selat Malaka, di (Kepulauan) Laut China Selatan, Selat Bangka, dan Karimata.
Karena aksi tersebut sering pula dilakukan dengan cara paksaan dan kekerasan, dalam
berbagai laporan dan catatan pelaut, pengelana, utusan berbagai kerajaan (khususnya
China), dan saudagar sering ditemukan ungkapan yang menyebut bahwa tindakan
mereka itu sebagai perompakan. Dengan demikian, mereka dinamakan perompak
dan berbagai ungkapan lain sesuai dengan istilah yang mereka pahami. Itu pulalah
sebabnya dalam literatur sejarah maritim nusantara disebutkan bahwa salah satu dari
tiga laut utama yang menjadi “sarang penyamun” ini adalah kawasan perairan yang
menjadi wilayah yang dulunya menjadi bagian kekuasaan Sriwijaya (á Campo, 2006).
Peran orang laut sebagai “anak buah” ini tetap berlanjut ketika pusat kerajaan pindah
ke Riau Kepulauan, Malaka, dan kembali ke Riau Kepulauan. Peran itu bahkan makin
nyata dan makin kuat di dalam lingkungan istana di tiga pusat Kerajaan Melayu
tersebut. Hal ini bisa terjadi karena orang laut senantiasa mengikuti “tuannya”
pindah dan ada kebijakan baru dari “tuannya untuk memasukkan pemimpin orang
laut ke lingkaran dalam. Bahkan, petinggi kerajaan, seperti pemimpin angkatan laut
(laksamana) meningkatkan jalinan hubungan “kesetiaan” melalui ikatan perkawinan
antara putri sultan atau bangsawan kerajaan dan petinggi orang laut.
Keberadaan orang laut di Natuna secara jelas terekam dalam cerita rakyat yang
berkembang di masyarakatnya. Orang Kaya Wan Rawa dibantu oleh seorang
94 Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna