Page 17 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 17
mendapatkan kemerdekaannya --dengan ―darah dan air mata‖ --
harus disampaikan kepada generasi mudanya? Langsung ataupun tidak
para guru sejarah di awal tahun 1950-an mengikuti saja pandangan
historis para pemimpin pergerakan kebangsaan. Bukankah Belanda,
sang penguasa kolonial, yang telah pula menguasai landasan ideologis
dari penulisan sejarah, bahkan juga—dan lebih penting—menetukan
pilihan tentang peristiwa apa yang harus dikisahkan, bertolak dari
kesadaran kolonialisme yang ingin mendapatkan keabsahan yang abadi
atas wilayah dan rakyat yang telah dikuasainya? Jadi seperti apakah
sejarah bangsa yang harus diajarkan?
Peralihan landasan nilai dan bahkan ideologis dari penulisan
sejarah adalah yang paling awal yang dilakukan. Di samping Hatta yang
pernah memperkenalkan Diponegoro, Imam Bonjol, dan Teuku Umar
sebagai ―pahlawan bangsa‖ dalam pidato pembelaannya di pengadilan
Den Haag, bukankah Ir. Sukarno (1901-1970) telah pula tampil dengan
konsep ―trilogi sejarah‖ ketika ia—seperti juga Hatta dua tahun
sebelumnya—mengucapkan pidato pembelaannya di pengadilan
kolonial di kota Bandung. (Indonesia Menggugat/Indonesia klaagt
aan,1930)? Tokoh pergerakan nasional yang terkemuka dan pemimpin
Partai Nasional Indonesia (PNI) ini tampil dengan ―rekonstruksi‖ yang
membayangkan ―masa lalu yang gemilang‖, ―masa kini yang gelap
gulita‖, dan ―masa depan yang penuh harapan‖—ketika gilirannya telah
datang untuk diadili pengadilan kolonial? Kemerdekaan , katanya
selanjutnya, adalah ―jembatan emas‖ untuk mencapai masa depan
yang gemilang itu. Dalam alam pemikiran kesejarahan yang romantik
inilah pula Mr. Mohammad Yamin (1903-1962) memperkenalkan kisah-
kesejarahan yang menonjolkan bukan saja peristiwa dan tokoh sejarah
yang inspiratif, tetapi juga peristiwa di masa lalu yang membanggakan.
Ia bukan saja menulis cerita-sandiwara tentang Ken Arok dan Ken Dedes
tetapi juga buku biografi Diponegoro dan Gajah Mada. Adalah pula
Yamin yang mengadakan rekonstruksi sejarah Merah Putih – simbol
kebangsaan, yang dikatakannya telah berumur 6000 tahun.
Dalam suasana yang telah semakin diwarnai semangat
nasionalisme inilah para guru sejarah dan penulis buku pelajaran sejarah
mengubah landasan normatif dari peristiwa dan tokoh sejarah—
―jelek‖, kata Belanda, ―bagus‖, kata kita dan sebaliknya. Dalam suasana
inilah pula Yamin, yang sejak muda mendendangkan cinta tanah air –
5