Page 21 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 21
konstitusional telah kembali terpusat di tangan Presiden. Dalam
kedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan inilah
Presiden Sukarno memperkenalkan Manipol-USDEK ( Manifesto Politik --
UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin) sebagai
landasan kebijaksanaan politik negara. Ajaran NASAKOM (Nasionalisme,
Agama, Komunisme) pun menjadi lambang kesatuan bangsa. Dengan
landasan konstitusional dan ideologis yang baru ini Republik Indonesia
pun memasuki zaman sebagaimana dikatakan Bung Karno (dengan
mengutip ucapan seorang ilmuwan asing) ‖a summary of many
revolutions in one generation‖. Diskusi dan eksplorasi intelektual secara
terbuka pun mulai dihambat oleh dinding ideologis yang telah didirikan
oleh sistem kekuasaan, yang didukung ideologi serba-revolusioner
meskipun tetap melandaskan diri pada konsep ―kepribadian –bangsa‖
yang cenderung bernuansa arkais.
Ironis mungkin, tetapi ketika dominasi ideologi negara telah
mulai menghambat sifat keterbukaan dari kemerdekaan berfikir di saat
itu pula usaha pendalaman pengetahuan pengetahuan tentang sejarah
bangsa semakin meluas. Jika secara resmi dan terbuka sejarah—sebagai
hasil rekonstruksi kritis tentang peristiwa di masa lalu— telah semakin
banyak ditampilkan sebagai alat untuk memperkuat semangat
konfrontatif yang revolusioner dalam berhadapan dengan kekuatan
yang disebut Old Established Forces, secara diam-diam latihan
akademis serta pemantapan landasan intelektual untuk mendapatkan
histoire–realite‘ berdasarkan keharusan etik dan keilmuan terjadi juga.
Kajian sejarah yang menuntut sikap keilmuan yang objektif dan
didukung oleh kejernihan konsep serta ketelitian teknis , baik dalam
menghadapi sumber-sumber primer maupun sekunder, yang mungkin
tertulis dalam bahasa asing yang beragam-ragam, telah pula mulai
diusahakan dan dilakukan. Dalam masa inilah pula satu-dua universitas
mulai menghasilkan sarjana dalam ilmu sejarah yang relatif muda usia.
Segelintir kecil dari mereka kemudian mendapat kesempatan belajar ke
luar negeri.
Di tahun 1966, ketika Sartono Kartodirdjo menyelesaikan
disertasinya yang berjudul The Peasant‘s Revolt of Banten in 1888 di
Universitas Amsterdam, maka Indonesia pun mempunyai seorang
pemegang gelar akademis tertinggi--doktor dalam ilmu sejarah. Ironis
mungkin, tetapi bisa jugalah dikatakan bahwa di saat Republik
Indonesia mulai memasuki periode baru dalam sejarah kontemporernya,
9