Page 174 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 174

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH




            yang  menempati  posisi  tertinggi …  gagal  memenuhi  tugas-tugasnya  yang  penting. Mereka
            lebih  suka  melanjutkan  cara-caranya  yang biasa  dan  rutin dari  administrasi pemerintahan
            yang dulu…” (dikutip dari Benda 1985: 198-9).
            24 Pidato Wahid Hasjim tersebut kemudian dimuat dalam Soeara Moeslimin Indonesia (1 Juni
            1944) berjudul “Melenjapkan Jang Kolot”.
            25  Wahid  Hasjim  tercatat  telah  memperkenalkan  system  pendidikan  modern  dengan
            membuka  madrasah  di  dalam  pesantren  Tebuireng,  di  mana  ilmu-ilmu  umum  (bahasa
            [Inggris dan Indonesia], sejarah, matematika [al-Jabar], kebangsaan) dipelajari, selain tentu
            saja ilmu-ilmu agama yang sudah lama dipelajari di pesantren. Selain itu, Wahid Hasjim juga
            menerbitkan majalah di Tebuireng, Suluh Nahdlatul Ulama, yang sebagian menjadi bacaan
            murid-murid pesantren. Pada 1930-an sekitar 1.500 murid belajar di Pesantren Tebuireng, di
            mana mereka terbiasa membaca majalah dan surat kabar dalam bahasa Indonesia, Inggris
            dan juga Belanda. Lihat Yasuko (1997: 89).
            26 Dalam konteks  lain,  sebagaimana  terekam  oleh  Saifuddin Zuhri, yang  kemudian  menjadi
            tokoh  di  NU  dan  Kementerian  Agama,  Wahid  Hasjim  pada  dasarnya  sangat  kritis  dengan
            kebijakan  Jepang.  Dia  bahkan  mempertanyakan  niat  Jepang  untuk  membantu  Indonesia
            merdeka.  Karena  itu,  di  balik  ungkapan  dukungan  terhadap  pemerintah  Jepang,  dia  juga
            pada  saat  yang  sama  “memperalat”  (“tipu-menipu”)  Jepang  untuk  kepentingannya  dan
            kepentingan Indonesia secara umum. Prinsip Wahid Hasjim adalah menolong diri kita dengan
            kesempatan  yang tersedia dalam  pendudukan  Jepang.   Lihat Zuhri  (1974S:  173-6); Yasuko
            (1997: 90), juga Umam (1998: 110).



























                                                165
   169   170   171   172   173   174   175   176   177   178   179