Page 173 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 173
ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)
17 Menurut anggaran dasarnya, Masjoemi “bermaksud hendak mengemudikan dan
merapatkan perhubungan antara perkumpulan-perkumpulan agama Islam di Jawa, serta
memimpin dan memelihara pekerjaan perkumpulan-perkumpulan itu untuk mempertinggi
peradaban agar supaya segenap umat Islam membantu dan menyumbangkan tenaganya
untuk membentuk lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya di bawah pimpinan
Dai Nippon”. Lihat majalah resmi organisasi ini, Soeara Moeslimin Indonesia (1 Desember
1943).
Keanggotaan Masjoemi bisa juga dari kalangan kiyai secara pribadi, sejauh mendapat
persetujuan dari Shūmubu, di samping sebagai “pemimpin agama yang berwatak baik dan
berpengetahuan tinggi”. Lihat KH. Mas Mansoer, “Mendjelaskan Kedoedoekan Masjoemi”,
dalam Soeara Moeslimin Indonesia (1 Desember 1943); juga Benda (1985: 185-6).
18 Program ini berlangsung selama dua tahun, dengan sekitar tujuh belas kali training yang
diselenggarakan, dan kurang lebih seribu orang sudah mengikuti training ini. Kiyai-kiyai NU
mendominasi peserta, karena hubungan erat NU dengan Masjoemi, yang kemudian menjadi
barisan yang mengisi jabatan Shūmuka dan juga Hizbullah, yang akan dibahas nanti. Lihat
van Nieuwenhuijze (1958: 127-34), Yasuko (1997: 84) dan Kurasawa (1988: 410-446) untuk
pembahasan komprehensif tentang latihan kiyai ini.
19 Selain tokoh-tokoh Muslim yang telah disebut, juga perlu dicatat ketua NU dan
Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Wahab Chasbullah, sebagai dewan
penasehat Masjoemi, dengan anggota sebagai berikut: KH. Muchtar (NU), Zainal Arifin (NU),
KH. M. Sadie (NU), Farid Ma’ruf (M), Abdull Mukhti (M), T. Kartosudharmo (M), K.M. Hasjim
(M), dan Nachrawi-Thahir (NU). Lihat Soeara Moeslimin Indonesia (1 Desember 1943), juga
Benda (1985: 302).
20 Petisi pembentukan Korps Sukarelawan Islam dikemukakan seorang pemimpin
Muhammadiyah dan tokoh Islam di Yogyakarta, Wali al-Fatah, yang pernah menghadiri
Kongres Islam Duniai di Jepang pada 1938. Beberapa tokoh yang namanya tercantum sebagai
penandatangan petisi adalah: KH. Mas Mansoer, Mr. R. Muhammad Adnan (ketua
Mahkamah Urusan Islam), Dr. Amrullah, KH. Muchtar, dan empat orang kiyai. Lihat Benda
(1985: 293), lihat pula Djawa Baroe (edisi 19, 1 Oktober 1943).
21 Berdasarkan laporan resmi pemerintah, Kiyai Zainal Mustafa digambarkan sering
“melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar, dan
karena itu kaum Muslim tidak lagi mengakui kewibawaannya dan rakyat menganggapnya
sebagai orang gila. Akhirnya dia mengumumkan bahwa dia adalah wakil Allah, yang bertugas
mendirikan masyarakat (Islam) yang akan direstu oleh-Nya. Untuk mencapai tujuan ini, dia
menyebarkan kabar bohong, membohongi murid-murid dan orang desa, sampai dia
mengumpulkan pengikut kira-kira sebanya lima ratus orang; dia juga mengumpulkan
berjenis-jenis senjata” (Benda 1985: 195-6).
22 Dalam pernyataan resminya, seperti dikutip Benda (1985: 195-6), dikatakan bahwa
pemerintah “berusaha untuk melindungi dan memajukan agama Islam, bersama dengan
para pemimpin agama yang adalah para pendidik rakyat terkemuka… Orang-orang yang akan
ditunjuk untuk duduk di kantor ini harus betul-betul memahami hokum Islam dan adat
kebiasaan Islam, di samping menunjukkan penghargaan yang jelas terhadap pemerintahan
militer Dai Nippon… Karena itu kepala kantor yang baru tersebut (Shūmuka-cho) dan
sekurang-kurangnya dua dari pembantunya akan diangkat dari kalangan Islam Indonessia
yang terkemuka”.
23 Hal ini bisa dilihat dari pernyataan pemerintah yang mengatakan bahwa “beberapa pejabat
164