Page 168 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 168
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
telah disebut di sepanjang pembahasan artikel ini menjadi semacam fondasi
kelembagaan yang memfasilitasi ulama untuk diakui tidak hanya memiliki
pengaruh keagamaan tapi juga politik. Karier politik Hasjim Asj’ari maupun Wahid
Hasjim membantu menjelaskan bagaimana ulama muncul sedemikian rupa
menjadi salah satu kelompok elit Indonesia, yang mempunyai otoritas agama dan
juga terlibat dalam perpolitikan riil di Indonesia. Lagi-lagi karier Wahid Hasjim
penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945, dia dipercaya menjadi anggota komite yang dirancang
untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, Badan Penyelidik Usaha-usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tidak lama setelah kemerdekaan, Wahid Hasjim
ditetapkan sebagai Mentri Agama (1949-1953) di Republik Indonesia yang baru
lahir (Umam 1998: 83-113; Aboebakar 2011 [1957]: 681-771).
Dalam kapasitasnya sebagai tokoh Muslim terkemuka di Indonesia, Wahid
Hasyim telah terlibat dalam corak pemikiran dan gerakan yang melampaui
kepentingan kelompok keagamaan. Hubungan dan pergaulannya dengan berbagai
elit dengan latarbelakang dan ideologi yang berbeda-beda, membuat Wahid Hasjim
hadir dengan pemikiran yang menekankan kepentingan yang lebih luas dan
berdimensi kebangsaan di atas kepentingan agama. Hal ini bisa dibaca dari
tulisannya yang berjudul ”Agama dalam Indonesia Merdeka”, dimuat dalam
Indonesia Merdeka (25 Mei 1945) bahwa:
”... menurut fikir kita yang penting dimajukan bukanlah pertanyaan: Di
mana tempat agama di dalam negara itu nanti? Akan tetapi yang penting
dimajukan adalah peranyaan: Bagaimanakah caranya menempatkan
Agama di Indonesia Merdeka itu? Saya ulangi lagi: Persatuan bangsa yang
kokoh teguh sangat perlu di waktu ini”.
Dari kutipan di atas, jelas watak demokratis dan nasionalis menjadi ciri
utama pemikiran Wahid Hasjim. Dia berusaha menempatkan Islam pada posisi
sangat penting, tapi juga harus mempertimbangkan skala prioritas saat itu di mana
Indonesia butuh persatuan. Karena itu, sangat beralasan ketika dia sama sekali
tidak keberatan dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18
Agustus 1945, yakni ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Sebagaimana diketahui, Piagam Jakarta adalah hasil dari
serangkaian rapat BPUPKI (28 Mei sampai 1 Juni dan 10-17 Juli 1945) dan kemudian
berlanjut dengan Panitia Sembilan. Dan Wahid Hasjim terlibat aktif dalam
pertemuan-pertemuan tersebut yang kemudian berhasil membuat rumusan
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta,
159