Page 172 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 172
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Catatan Akhir
1 Djawa Baroe, 3, Februari 1943
2 Karya Harry J. Benda berjudul The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the
Japanese Occupation, 1942-1945 (1958). Edisi Indonesianya Bulan Sabit dan Matahari Tebit:
Islam Indonesia Masa Masa Pendudukan Jepang (985).
3 Aiko Kurasawa, “Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945”
(1988). Karya tersebut adalah dissertasinya di Cornell University. Edisi Indonesianya
Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 142-1945 (1993).
4 Lihat antara lain Kobayashi Yasuko (1997: 65-98). Untuk pembahasan tentang kajian Islam
oleh sarjana Belanda bisa dibaca dalam Boland dan Farjon (1983).
5 Spiegel 2005: 20
6 Noer 1988: 262.
7 Yasuko 1997: 79; Benda 1985: 144.
8 Delegasi MIAI adalah H. Abdul Kahar Muzakkir (kepala sekolah Muhammadiyah), Ahmad
Kasmat (PII), H. Mahfud Siddiq (NU), Farid Ma’ruf (Muhammadiyah dan PII), dan seorang
bernama Almudi. Lihat Benda (1985: 271, not. 6).
9 Yasuko. 1997: 74
10 Beberapa alasan dikemukakan Muhammadiyah. Pertama, mereka mempertimbangkan
aspirasi Cina Muslim di Indonesia, karena persoalan hubungan Jepang-Cina belum
terselesaikan. Kedua, Muhammadiyah tidak bisa melihat undangan Jepang memiliki motif
sebagai propaganda pemerintah. Dan ketiga, jika pun tidak ada ambisi apa-apa,
Muhammadiyah tidak punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan pengiriman delegasi
ke Jepang. Lihat Yasuko (1997): 74).
11 Majalah Djawa Baroe mulai terbit pada Januari 1943, berbarengan dengan Soeara MIAI.
Terbit tengah bulanan oleh Djawa Shimbun, Djawa Baroe berada di bawah redaktur orang
Jepang. Isinya dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Majalah ini terbit hingga Agustus 1945.
12 Pada edisi perdana Djawa Baroe (1 Januari 1943) dinyatakan bahwa majalah ini diarahkan
sebagai “alat perantaraan sebaik-baiknja antara bangsa Indonesia dan Nippon”,
“meroepakan seatoe lapang pertemoean bangsa”, dan untuk “dapat meningkatkan rasa
persaudaraan antara bangsa Nippon dan Indonesia”.
13 Poin-poin yang ditekankan Soeara MIAI adalah: memajukan agama, menciptakan
kedamaian dan kemakmurak rakyat, memperbaiki semua hal atau urusan yang sangat
penting bagi kehidupan kaum Muslim (perkawinan, waris, masjid, waqaf, dakwah, dan lain
sebagainya, Lihat pula Yasuko (1997: 82).
14 Berdasarkan bacaan atas majalah Soeara MIAI, ada sejumlah artikel yang ditulis atas nama
Mohd. Isa Anshary, yang sebagian besar terkait dengan isu Islam dan kondisi politik
Indonesia saat itu di bawah tentara pendudukan Jepang. Dia memang dikenal seorang
penulis produktif, di samping sebagai seorang politisi Muslim. Hanya saja, untuk kepentingan
studi ini, pembahasan hanya difokuskan pada artikelnya yang telah disebut di atas. Artikel
lain akan diacu sejauh terkait dengan tema pembahasan.
15 Untuk argumen Snouck Hurgronje mengenai isu ini, lihat karyanya (1910: I, 364-80; 1913;
IV, 361-91), Bosquet dan Schacht (1957), juga Van Dijk (2002: 55-64).
16 Dalam Soeara Moeslimin Indonesia (1 Desember 1943) diberitakan bahwa Wondoamiseno
selaku ketuau MIAI dalam rapat pleno tersebut sengaja memutuskan pembubaran MIAI,
sebagai satu langkah yang diambil untuk suatu pemikiran yang disebutnya sebagai
“keyakinan yang teguh untuk memperoleh kemajuan yang pesat”.
163