Page 170 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 170
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Catatan Penutup
Karier politik Wahid Hasjim adalah satu contoh dari keterlibatan ulama
dalam dunia politik, yang terus berlanjut dalam sejarah Indonesia. Masjoemi, yang
pada 1945 menjadi partai politik, memberi ruang yang luas kepada para ulama
untuk meniti karir seperti Wahid Hasjim. Bahkan, para ulama NU kemudian
mendirikan partai politik sendiri pada 1952, menyusul keluarnya NU dari Masjoemi.
Ini berlangsung sampai permulaan masa Orde Baru dalam pemerintahan Indonesia,
di mana pada tahun 1970-an NU dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), partai politik baru yang dibentuk atas dasar ketentuan pemerintah untuk
menggabungkan seluruh partai politik Islam ketika itu. Dengan perkembangan
tersebut, perubahan peran ulama (kiyai) sebagaimana diamati Geertz (1960) di
tahun 1950-an bisa dilacak kembali ke masa pendudukan Jepang. Di samping
menyebarkan Islam, ulama juga memainkan peranannya di dalam dunia politik.
Dengan demikian, masa pendudukan Jepang merupakan satu periode
penting dalam sejarah Islam Indonesia, yang menyaksikan tampilnya ulama dalam
pentas politik Indonesia—suatu keadaan yang tidak ditemukan pada masa kolonial
Belanda. Dengan pola kebijakan yang menghormati Islam, pendudukan Jepang
memberi ruang lebar bagi para ulama untuk mengalami satu proses pergerakan
menuju jantung dari dinamika sosial-politik dan keagamaan di Indonesia. Memang,
kondisi ini kerap ditafsirkan sebagai kemenangan Jepang yang menentukan secara
dominan perkembangan Islam Indonesia, sebagaimana bisa ditemukan dalam
karya klasik Benda (1985) yang telah dikutip dalam pembahasan ini. Namun,
penulis berargumen bahwa elit Muslim Indonesia justeru memanfaatkan
kesempatan yang diberikan Jepang untuk bergerak, baik secara intelektual maupun
sosial-politik.
Hal di atas bisa dilihat dari corak pemikiran yang berkembang selama
masa pendudukan Jepang, yang menunjukkan bukti kuat dari usaha kaum ulama
untuk membangun aliansi dan kerjasama dengan pemerintah Jepang, seraya
membangun konsolidasi kekuatan untuk bisa dipertimbangkan—dan meman
demikian—dalam perumusan kebijakan politik Islam pemerintah Dai Nippon.
Karena itu, selain dukungan dan kesediaan bekerjasama dengan Jepang, kita juga
menyaksikan berdirinya lembaga yang berfungsi sebagai sarana mobilitas sosial-
politik kaum ulama, yakni Masjoemi, Shūmubu dan Shūmuka. Juga perlu
disebutkan dalam hal ini adalah pelatihan kiyai, sehingga mereka diharapkan dapat
menyuarakan harapan dan maksud Jepang kepada masyarakat setempat.
161