Page 165 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 165

ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
                                JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)

            politik Indonesia saat itu. Dalam kaitan inilah pemerintah Jepang melakukan suatu
            reorganisasi  Kantor  Urusan  Agama,  baik  melalui  struktur  maupun  personalia,
            dalam  rangka  ”memudahkan  dan  meningkatkan  aktivitas-aktivitasnya  sehingga
            semua masalah yang terkait dengan agama, yang menjadi semakin penting dalam
            masyarakat  Indonesia,  bisa  dipercepat  dan  diatur  dengan  mudah”  (Benda  1985:
            201).
                    Sangat  mungkin  terkait  dengan  perkembangan  di  atas  Hoesain
            Djajadiningrat  pada  bulan  Agustus  1944  menyatakan  mundur  dari  jabatannya
            sebagai  ketua  Shūmubu,  sebagai  respon  atas  reorganisasi  yang  dilakukan
            pemerintah yang memberi tempat lebih besar kepada pemimpin Islam Indonesia
            untuk  mengurusi  dan  mengawasi  masalah  keislaman.  Dia  diganti  oleh  seorang
            ulama  terkemuka  Hasjim  Asj’ari,  yang  sekaligus  sebagai  Ketua  Masjoemi.  Dan,
            seperti  halnya  di  Masjoemi,  Hasjim  Asj’ari  menyerahkan  kepemimpinan  harian
            kepada  putranya  Wahid  Hasjim  dan  Abdul  Kahar  Muzakkir  dari  Muhammadiyah.
            Mereka berdua duduk sebagai wakil ketua Shūmubu.  Diangkatnya Hasjim Asj’ari,
            rais  ’am  NU,  menjadi  ketua  Shūmubu  menjadi  satu  tahap  sangat  berarti  dalam
            suatu  proses  di  mana  ulama  bergerak  di  tengah  suasana  sosial-politik  yang
            diciptakan Jepang yang   menjadikan Islam dan tokoh Muslim (ulama) sebagai satu
            pertimbangan penting dalam  kebijakan  politiknya.  Shūmubu  dalam  beberapa  hal
            tertentu adalah kelanjutan dari Kantoor voor Inlandsche Zaken Belanda di abad ke-
            19,  tempat  kebijakan  kolonial  mengenai  persoalan-persoalan  keislaman  dan
            bumiputera dirumuskan (Kurasawa 1988: 395-40; Yasuko 1997: 75-6; Benda 1985:
            201-2; Suminto 1985).

            Islam untuk Negara-Bangsa Indonesia

                    Tidak bisa diingkari bahwa Shūmubu dan Masjoemi didirikan untuk tujuan
            pendudukan  Jepang,  tepatnya  untuk  memperoleh  dukungan  politik  dari  tokoh-
            tokoh  Muslim.  Namun,  dua  institusi  tersebut  jelas  mempunyai  peran  strategis
            dalam  meningkatkan  peran  politik  ulama.  Baik  Shūmubu  maupun  Masjoemi
            memberi ulama kesempatan untuk memasuki arena politik Indonesia. Oleh karena
            itu,  sejumlah  ulama  muncul  sebagai  tokoh  politik,  selain  memegang  peranan
            tradisional mereka di pesantren. Dengan kantor dan lembaga di atas, pemerintah
            kolonial Jepang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kemunculan ulama
            di  panggung  politik.  Ini  berbeda  dengan  kondisi  di  masa  penjajahan  Belanda,  di
            mana ulama dikucilkan dari kegiatan-kegiatan politik. Hasilnya, sejak pendudukan
            Jepang Islam Indonesia menyaksikan naiknya ulama ke jantung kehidupan politik.



                                             156
   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170