Page 160 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 160

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH



            pada  24  Oktober  1943,  di  bawah  komando  Wondoamiseno,  MIAI  secara  resmi
                                     16
            berakhir  (Benda  1985:  183).    Segera  setelah  itu,  Masjoemi  didirikan  dengan
            tujuan  “memperkuat  kesatuan  semua  organisasi  Islam”  dan  “membantu  Dai
            Nippon dalam kepentingan Asia Timur Raya”. Berdirinya organisasi baru ini, yang
            langsung  diberi  status  hukum,  merupakan wujud  dari  kontrol  penuh  Jepang  atas
            eksistensi  Muslim  Indonesia.  Keanggotaan  Masjoemi  hanya  terbuka  bagi
            organisasi-organisasi yang diberi status hukum oleh pemerintahan militer, tepatnya
                                                17
            Muhammadiyah dan NU (Benda 1985: 185).
                    Lebih  dari  itu,    berdirinya  Masjoemi  juga  sangat  terkait  dengan
            keberadaan komunitas Muslim yang disebut kaum santri di bawah pimpinan ulama,
            dan secara organisasi tergabung dalam NU, yang sejak awal berdirinya MIAI merasa
            terpinggirkan  akibat  dominasi  politisi  PSII.  Bahkan,  isu  NU  ini  menjadi  satu
            pembahasan  penting  di  awal  pembentukan  MIAI,  di  mana  NU  menolak  keras
            kecendrungan  kelompok  yang  sebelumnya  bergabung  dalam  Sarekat  Islam  (SI)
            mengklaim sebagai hasil kontribusinya dalam pertemuan di serangkain Kongres al-
            Islam pada beberapa tahun sebelumnya (Noer 1988: 263-4).  Meski terselesaikan,
            terbukti  ikutnya  NU  dalam  kepengurusan  MIAI,  tidak  bisa  dipungkiri  bahwa  NU,
            lebih tepatnya kalangan ulama, tetap pada upayanya untuk dikaui sebagai ormas
            Islam  yang memiliki  akar  kuat  di  tengah massa  Muslim  Indonesia. Bahkan,  sejak
            berdirinya  NU  pada  1926,  jaringan  ulama  Indonesia  semakin  kuat  dan
            terlembagakan,  dalam artian  bahwa  ulama  berkembang menjadi  golongan  sosial
            yang  distinktif.  Dan  NU  memfasilitasi  para  ulama  dengan  landasan  kelembagaan
            untuk menciptakan otoritas keagamaan di tengah komunitas Muslim. Karena itu,
            bisa dipahami jika NU berusaha mengambil kepemimpinan dalam Islam Indonesia.
                     Periode di akhir 1943 dan awal 1944 menjadi momentum bagi NU, dan
            kelompok  santri  secara  umum,    untuk  tampil  dalam  peta  sosial-politik  dan
            keagamaan  di  Indonesia.  Dan  hal  ini  tentu  saja  terkait  dengan  dukungan
            pemerintah tentara Jepang yang menghendaki kontrol efektif atas massa Muslim.
            Dalam  hal  ini,  dua  orang  tokoh  Muslim,  KH.  Mas  Mansoer  dan  KH.  Wahab
            Chasbullah  (masing-masing  dari  Muhammadiyah  dan  NU),  memberi  kontribusi
            sangat  penting  dalam  berdirinya  Masjoemi,  meskipun  apa  yang  dilakukan  kedua
            tokoh  ini  tidak  terekam  dalam  sumber-sumber  yang  ada.  Soeara  Moeslimin
            Indonesia,  majalah  resmi  Masjoemi,  tidak  memuat  informasi  detail,  kecuali
            mencatat  ucapan  terima  kasih  pihak  pemerintah  Jepang  atas  jasa  besar  kedua
            tokoh tersebut dalam pembangunan Masjoemi (edisi 1 Desember 1943). Dengan
            demikian,  jelas  bahwa  berdirinya  Masjoemi  menjadi  bukti  dari  kebangkitan  NU
            dalam peta keagamaan dan akhirnya pentas politik di Indonesia.


                                                151
   155   156   157   158   159   160   161   162   163   164   165