Page 158 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 158

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH



            dalam  Soeara  Moeslimin  (1  Juni  1944),  berasal  dari  pidatonya  pada  pertemuan
            antara Masjoemi (organisasi Muslim baru menggantikan MIAI, yang akan dibahas
            nanti) dengan penghulu di Jawa. Dia menulis seperti berikut ini:

                    “Kita  dulu  di  zaman  Belanda  hidup  berselisih-selisihan  antara  satu
                    golongan  dengan  golongan  lain.  Antara  golongan  penghulu,  golongan
                    ulama, golongan pangreh praja, golongan nasional, dan lain-lainnya. Kita
                    telah  mengalami  pahitnya  akibat  yang  ditimbulkan  perselisihan-
                    perselisihan  itu.  Kita  telah  merasakan  kerugiannya  nusa    dan  bangsa
                    karena akibatnya diadu-dombakan Belanda dulu itu”.

                    Bagi kaum ulama, dan kelompok santri secara umum,  pemerintah kolonial
            Belanda jelas telah menempatkan mereka pada posisi  yang terpinggirkan dari arus
            utama  dalam  wacana  sosial-politik  dan  intelektual  yang  dibangunnya  yang
            berorientasi Barat modern. Maka bisa dipahami jika kelompok santri tampil sebagai
            yang  terdepan  menyuarakan  pandangan  kritis  dan  bahkan  mengecam  kebijakan
            kolonial  Belanda,  sebagai  “sisa-sisa  zaman  yang  tidak  enak  itu  [yang]  harus  kita
            buang  jauh-jauh”.  Tidak  ada  satu  agenda  dari  pihak  Belanda  untuk  memberi
            kesempatan bagi kaum santri menduduki posisi penting di pemerintahan, kecuali
            mereka yang dinilai sudah teremansipasi dari apa yang disebutnya “sampah abad
            pertengahan”  dan  sebaliknya  berpegang  teguh  pada  nilai-nilai  Barat  modern.
            Wachid  Hasjim  dalam  kaitan  ini  memandang  kebijakan  Belanda  telah  membuat
            golongan Islam “berada dalam keadaan yang tidak sempurna”, sehingga akibatnya
            “kebanyakan  dari  golongan  keislaman  tidak  dapat  bekerja  guna  kemajuan
            keislaman menurut mestinya”, yakni menjalankan amar makruf dan nahi munkar
            (menganjurkan perkara kebaikan dan melarang perbuatan salah).
                     Karena  itu,  dengan  latar  belakang  seperti  telah  dijelaskan,  kehadiran
            tentara  pendudukan  Jepang  menjadi  satu  kekuatan  yang  mengakhiri  kebijakan
            diskriminatif  tersebut.    Dan  Jepang  memang  tidak  memiliki  agenda  sistematis
            seperti halnya Belanda yang berusaha menarik kaum aristokrat ke pusaran kolonial,
            dengan argumen seperti telah dikemukakan di atas. Tentara pendudukan Jepang
            bersikap  lebih  terbuka  terhadap  berbagai  kelompok  sosial  yang  ada  saat  itu,
            termasuk kelompok Muslim yang selama masa kolonial Belanda terpinggirkan. Bagi
            pemerintah  Jepang,  ulama  adalah  pemimpin  yang  memiliki  ikatan  dan  pengaruh
            yang kuat di tengah massa Muslim. Mereka dipadang sebagai pihak yang memiliki
            kemampuan  memobilisasi  massa,  dan  pada  saat  yang  sama  melakukan  kontrol,
            atas  kaum  Muslim  Indonesia  (Kurasawa  1988:  380-4).  Hal  ini  sesuai  dengan
            kepentingan Jepang untuk memperoleh sumberdaya manusia guna memenangkan


                                                149
   153   154   155   156   157   158   159   160   161   162   163