Page 159 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 159
ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)
perang Asia Timur Raya. Sikap ini berbeda dari pemerintah Belanda yang
memandang massa dalam perspektif hubungan tradisional patron-client, di mana
mereka dipercaya akan dengan sendirinya mengikuti langkah tuannya untuk sama-
sama berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.
Dengan demikian, selain sangat diapresiasi karena sikapnya yang ramah
terhadap Islam, kehadiran tentara Jepang juga dipercaya akan membebaskan
Muslim Indonesia dari suasana di bawah pola kebijakan Belanda yang “mengadu-
domba”. Selain itu, Jepang juga tampak telah mendorong kaum Muslim untuk ikut
terlibat dalam “memajukan agama Islam” atas bimbingan pemerintah pendudukan.
Hal itulah yang menjadi substansi dari kutipan di bawah ini dari tulisan Wachid
Hasjim yang telah disebut di atas:
“Sekarang keadaan telah bertukar. Pemerintah Belanda yang netral agama
itu telah berganti dengan pemerintah Balatentara yang berulang-ulang
menunjukkan sikapnya menghormati dan menghargai agama Islam. Maka
kita sekalian, selain dari harus bergembira dan bersyukur mendengarkan
sikap demikian, pun harus berbuat menunjukkan kesanggupan dan
kecakapan kita memimpin umat Islam dan memajukan agama Islam”.
“Bersatulah Tuan-tuan seerat-eratnya. Dan bekerjalah di belakang
pemerintah, memajukan umat Islam dan keislaman. Mudah-mudahan di
dalam perjuangan Asia Timur Raya ini, Allah memberikan taufik dan
hidayah hingga kemenangan akhir tercapai di pihak kita, pihak yang
menuntut keadilan dan kebenaran”.
Ulama Bergerak: Institusi dan Wacana
Perlu ditegaskan bahwa terbitnya artikel Wachid Hasjim di atas dalam
Soeara Masjoemi (1 Juni 1944) tidak hanya menandai satu respon intelektual
seorang tokoh Muslim, tapi sekaligus kebangkitan kelompok ulama dalam peta
sosial-politik Indonesia saat itu. Hal ini bermula pada penghujung tahun 1943,
ketika organisasi federasi baru berdiri, Majlis Sjoera Muslimin Indonesia
(Masjoemi) pada awal tahun 1944, menggantikan MIAI sebelumnya. Pengakuan
pemerintah Jepang terhadap NU dan Muhammadiyah pada September 1943
menjadi dasar hukum dari tidak berlakunya legalitas organisasi federasi MIAI, dan
dengan demikian membuat Jepang, khususnya melalui Shūmubu, langsung
berhubungan dengan kedua ormas Islam tersebut, tidak melewati MIAI yang
kepengurusannya didomiasi kalangan tokoh politik PSII. Maka melalui pertemuan
150