Page 155 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 155
ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)
Hurgronje berusaha memahami Islam dengan cara yang lebih komprehensif, yang
mengklarifikasi cara pandang pemerintah Belanda yang secara simplistik
menghubungkan Islam dengan fanatisisme dan menganggap Mekah sebagai pusat
konspirasi internasional dari gerakan anti-pemerintah “kafir”. Snouck Hurgronje
pada beberapa hal tertentu mengafirmasi cara pandang pemerintah di atas, tapi
secara spesifik menunjuk kelompok pan-Islamisme dan kaum fanatik lokal dalam
bentuk tarekat (Snouck Hurgronje 1931: 290). Dia berargumen bahwa kelompok-
kelompok Islam inilah yang sedianya menjadi dasar atau alasan ketakutan Belanda
terhadap Islam. Kelompok Muslim ini menerjemahkan Islam ke dalam doktrin dan
15
gerakan politik (Benda 1973: 85).
Atas dasar itu, Snouck Hurgronje dengan tegas merekomendasikan
kepada pemerintah Belanda untuk mengambil tindakan militer jika perlu, dalam
rangka membatasi ruang gerak pertumbuhan Islam politik di Hindia Belanda.
Dengan demikian, meski mendukung kebijakan yang netral terhadap kehidupan
keagamaan umat Muslim, dia tidak mentoleransi tumbuhnya bentuk Islam politik.
Sementara mereka yang bermukim di Mekah justeru menunjukkan watak damai
dari Islam dan Muslim di Hindia Belanda. Dalam karyaynya berdasarkan penelitian
selama di Mekah, Snouck Hurgronje (1931: 291) menulis,“para haji, pengikut
tarekat mistis, sarjana agama di Mekkah bukanlah orang-orang yang berbahaya,
fanatik, dan seterusnya; namun demikian ketiganya secara bersama-sama
merepresentasikan jaringan intelektual Hindia-Timur dengan kota-kota besar Islam,
dan dengan begitu memiliki kebenaran lebih dari sekadar pengamatan yang
dangkal pihak pemerintahan Eropa”.
Namun demikian, aspek penting lain dari pemikiran Snouck Hurgronje, ,
adalah fakta bahwa dia merumuskan pemikirannya berangkat dari sebuah gagasan
pokok tentang tingkat signifikasi Islam dalam dalam kehidupan penganutnya dan
cara yang ditempuh dan dikembangkan mereka dalam sebuah sistem budaya
tertentu (Drewes 1957: 4). Dalam konteks ini, dia sampai pada kesimpulan
tentang—dan kemudian dielaborasi lebih jauh oleh van Vollenhoven (1928)—peran
penting dari apa yang dia istilahkan adat-recht (hukum adat). Didefinisikan sebagai
“kebiasaan, cara, aturan, tatakrama, dan kesopanan” (Jaspan 1965: 252), adat
menjadi elemen yang berperan penting dalam kehidupan Muslim Hindia Belanda,
berbeda dan bahkan lebih daripada ajaran hukum Islam, tidak sebagaimana
diasumsikan para sarjana pendahulunya di Delft, Keijzer dan van den Berg (Boland
dan Farjon 1983: 20). Dengan demikian, Islam dan adat adalah dua entitas yang
berbeda dan bahkan kerap kali bertentangan satu sama lain.
146