Page 156 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 156
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Penekanan Snouck Hurgronje pada adat, di samping ajaran Islam, dalam
kehidupan umat Muslim bisa dilihat antara lain dari hasil studinya tentang
masyarakat Aceh, di mana semangat jihad sangat mengakar. Seperti di Jawa,
Snouck Hurgronje menemukan fakta bahwa sedemikian kecil doktrin Islam yang
diperoleh orang Aceh selama belajar di Mekkah mempengaruhi kehidupan sehari-
hari mereka di tanah air. Hal ini membawa Snouck Hurgronje berkesimpulan
tentang supremasi adat atas syariah. Di Aceh, wilayah di mana “doktrin jihad
tertanam kuat selama beberapa abad dibanding di daerah lain di Nusantara”
(Snouck Hurgronje 1906: II, 351), Islam hanya memiliki pengaruh minimal dalam
regulasi masalah-masalah sosial dan politik masyarakat. Baginya, meski ulama
dalam “dididik dengan doktrin bahwa adat (hukum adat) dan hukom (hukum
agama) dapat duduk secara berdampingan dalam sebuah negara Muhammad yang
baik”, “tetapi dalam praktiknya sebagian besar kehidupan mereka diatur menurut
adat, dan hanya sebagian kecil yang diatur oleh hukom” (Snouck Hurgronje 1906
[I]: 14). Oleh karena itu, Islam tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menacapkan
pengaruhnya dalam pengaturan kehidupan umat Muslim.
Berdasarkan pemikiran di atas, Snouck Hurgronje mengarahkan kegiatan
intelektualnya dalam kerangka proyek kolonial Belanda terhadap Islam dan Muslim
di Hindia Belanda. Dan hal ini kemudian semakin menguat ketika dia diangkat
sebagai Penasihat Urusan Masyarakat Pribumi dan Arab untuk pemerintah kolonial
Belanda (1889-1906), yang dilembagakan dalam Kantoor voor Inlandsche en
Arabische Zaken (Suminto 1985: 99-114). Di samping menjadi satu isu penting
dalam studi para orientalis tentang Islam di Asia Tenggara (Roff 1985: 10),
hubungan Islam-adat di atas memiliki dampak politik sangat kuat. Proyek kolonial
terhadap Islam di Hindia Belanda, di mana Snouck Hurgronje sangat terlibat di
dalamnya, didasarkan pada keberadaan dua entitas yang diasumsikan terpisah
dalam kehidupan Muslim. Dan Snouck Hurgronje kemudian merekomendasikan
kepada pemerintah kolonial untuk menggandeng kelompok adat (kelompok
uleebalang untuk konteks Aceh), memberi mereka penghargaan sehingga bersedia
menerima kekuasaan Belanda. Terhadap ulama, yang berbasis di pesantren dan
dayah di Aceh, dia berpendirian bahwa peperangan harus dilakukan untuk
memukul mundur mereka ke daerah-daerah terpencil di pedalaman (Wertheim
1972: 324). Rekomendasi Snouck Hurgronje memperoleh dukungan yang luas,
termasuk dalam penaklukkan Aceh di bawah komando van Heutsz.
Berdasarkan keberhasilannya menangani masalah masyarakat Aceh dan
Jawa, Snouck Hurgronje menyusun kebijakan yang berusaha menarik elite-elite
pribumi, pemuka-pemuka adat, untuk memihak Belanda. Hal ini juga didasarkan
147