Page 161 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 161
ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)
Bahkan, jauh sebelum itu, kalangan ulama NU telah memperoleh
perlakuan khusus dari pemerintah Jepang. Hal ini terkait dengan program latihan
18
untuk kiyai di Jawa, di mana pihak pemerintah langsung berhubungan dengan
kiyai, tanpa berkordinasi dengan MIAI. Pada tahun 1943, sekitar 1.024 orang kiyai
dari dua puluh keresidenan di Jakarta dan Jawa Tengah diundang untuk mengikuti
latihan di Jakarta di bawah pengawasan Shūmubu (Kurasawa 1988: 415-7). Dua
bulan sebelumnya, konferensi diselenggarakan di Hotel Des Indies sebagai langkah
pendahuluan antara lain untuk menseleksi instruktur potensial dan juga tepat
untuk peserta yang berasal dari komunitas ulama, yang tidak hanya memiliki
pengetahuan keislaman memadai, tapi juga pengalaman panjang sebagai
pendakwah. Dalam konferensi ini, yang dihadiri pegawai Shūmubu dan tokoh Islam,
pemerintah tidak mengambil seorang pun dari MIAI untuk dipertimbangkan
terlibat dalam kegiatan latihan (Benda 1985: 167-8). Hal ini merupakan bukti dari
kebijakan Jepang yang pada dasarnya lebih memilih berhubungan langsung dengan
ulama, yang kemudian terejawantah dalam Masjoemi.
Dengan demikian, NU menjadi bagian utama yang tidak terpisahkan dari
Masjoemi. Hal ini bisa dilihat antara lain dalam strutur kepengurusan organisasi ini,
di mana NU menempati posisi sentral, di samping beberapa orang dari
Muhammadiyah. Sebaliknya tidak ada seorang pun dari PSII. Sebagaimana
diketahui, ulama terkemuka NU dan sekaligus pemimpin sangat kharismatik dan
dihormati di Indonesaia KH. Hasjim Asj’ari diangkat senagai ketua Masjoemi,
dibantu putranya KH. Wahid Hasjim bersama KH. Mas Mansoer sebagai pengurus
harian. Meski demikian, kepemimpinan riil organisasi ini ada di tangan Wachid
Hasjim, karena ayahnya lebih memilih tinggal di Jombang, Jawa Timur, mengurus
pesantren. Dia hanya sesekali saja datang ke Jakarta jika ada acara penting.
Sementara KH. Mas Mansoer tidak lama setelah itu, pada 22 Januari 1944,
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pengurus harian, meski tetap sebagai
anggota Masjoemi (Benda 1985: 185, 302). Kondisi ini memberi jalan lebar
19
kepada Wachid Hasjim untuk tampil sebagai seorang tokoh Muslim terkemuka
dalam pentas politik dan sosial-keagamaan di Indonesia.
Begitulah menjelang akhir tahun 1943, sejalan dengan naiknya posisi
penting kaum ulama di mata Jepang yang membawa lahirnya Masjoemi, wacana
bertema dukungan terhadap Dai Nippon semakin menguat. Bersamaan dengan
tumbuhnya aspirasi untuk membentuk suatu Korps Sukarelawan Islam, tidak lama
setelah pembentukan Pembela Tanah Air (PETA) pada Oktober 1943, melalui
20
sebuah petisi yang ditadatangani sepuluh orang tokoh Muslim terkemuka,
berkembang suatu pemikiran yang menjadi argumen Islam secara lebih kuat
152