Page 163 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 163

ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
                                JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)

            Raya.  Karena  itu,  dia  mendorong  Muslim  Indonesia  untuk  mengangkat  senjata
            membantu tentara Dai Nippon.
                      Demikianlah, dengan semua perkembangan di atas, hubungan ulama dan
            Jepang  sangat  dekat.  Pemerintah  Dai  Nippon  memberikan  sepenuhnya  kepada
            Masjoemi,  tempat  bergabungnya  ulama  dan  komunitas  santri  secara  umum,
            sebagai  satu  kekuatan  politik  sangat  besar  yang  jelas  dibutuhkan  pemerintah
            pendudukan.  Maka  organisasi  ini  kemudian  diberi  tempat  istimewa  dalam
            administrasi  pusat,  Djawa  Hokokai,    dengan  mengangkat  ketuanya  KH.  Hasjim
            Asj’ari  sebagai  penasehat utama Indonesia  untuk  Gunseikan,  bersama  dengan  Ir.
            Sukarno.  Sementara  Mas  Mansoer  dan  Mohammad  Hatta  ditunjuk
            bertanggungjawab untuk masalah dalam negeri umum di pusat (Benda 1985: 191).
            Hubungan erat ini bahkan tetap bertahan ketika terjadi satu gerakan protest massa
            petani di bawah pimpinan seorang kiyai lokal di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 18
            Pebruari  1944.  Kiyai  Zainal  Mustafa,  yang  juga  seorang  anggota  NU  di  daerah
            tersebut, memimpin massa melawan tentara Jepang menyusul tindakan penguasa
            militer  yang  meminta  sumbangan  beras  kepada  petani  secara paksa  dan  bahkan
            dengan  cara  membabi  buta.  Meski  berskala  lokal,  peristiwa  tersebut  sangat
            penting dan memperoleh perhatian pemerintah tentara pusat Jepang  (Kurasawa
            1988:  623-645).  Namun,  pemerintah  percaya  bahwa  kasus  tersebut  sama  sekali
            tidak  mewakili  gambaran  ulama  secara  umum,  dan  sebaliknya  menyatakan  Kiyai
                                          21
            Zainal Mustafa sebagai ”orang gila”.  Maka, tidak lama setelah itu, selama Maret-
            April  juru  bicara  Masjoemi  dan  para  pejabat  Jepang  mengadakan  serangkaian
            pertemuan dengan para pemimpin Islam setempat dan masyarakat di seluruh Jawa
            (Benda 1985: 196).
                    Keberhasilan kaum ulama menjalin hubungan dengan pemerintah Jepang
            mencapai  satu  titik  perkembangan  yang  sangat  bermakna  ketika  kantor  baru
            dibuka pemerintah pada April 1944, Shūmuka (kantor agama daerah), yang berada
            di  tingkat  keresidenan  dengan  mengangkat  ulama  setempat  sebagai  pimpinan.
                                                                               22
            Dengan  Shūmuka ini,  pemerintah  Jepang  meluncurkan  satu  proyek  kolonial yang
            sangat berpengaruh dalam politisasi ulama, di mana mereka terlibat dalam urusan
            agama  dan  akhirnya  politik  pemerintahan.  Bagi  Jepang,  hal  ini  merupakan  satu
            upaya  besar  untuk  melakukan  penyesuaian  dalam  penangan  isu-isu  keislaman,
            setelah  menghadapi  pemberontakan  Islam  pedesaan  di  Jawa  Barat.  Dengan
            demikian,    pelaksanaan  kebijakan  Jepang  mengenai  urusan  dan  administrasi
            keislaman tidak lagi di tangan penghulu yang langsung di bawah kontrol buati, tapi
            dipercayakan kepada ulama setempat  (Lihat Kurasawa 1988: 400-410). Proses ini
            semakin  meningkat  saat  Shūmuka  terhubung  dengan  cabang-cabang  Masjoemi,



                                             154
   158   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168