Page 164 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 164

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH



            dan  karenanya  memberikan  fasilitas  kepada  para  ulama  untuk  lebih  terlibat  di
            pemerintahan setempat.
                    Pembukaan  kantor  baru  ini    tentu  saja  berimplikasi  serius  dalam  pola
            hubungan  kuasa  di  tingkat  lokal.  Penghulu,  yang  sudah  lama  menjadi  pejabat
            agama  dan  bersahabat dekat  dengan lingkaran  priyayi  (Hisyam  2001), harus  rela
            menerima  kehadiran  pejabat  lain  dari  kalangan  ulama.    Perasaan  tidak  nyaman,
            bahkan  terancam,  dirasakan  bupati  dan  priyayi.  Selain  gajinya  dikurangi  secara
            tajam, terutama jika dianding masa kolonial Belanda, mereka kini terpaksa harus
            bermitra dengan elit baru buatan pemerintah Jepang, mulai dari Dewan Penasehat
            Pusat  dan  Lokal,  perwira-perwira  PETA,  dan  kemudian  pemimpin  kantor  baru
            Shūmuka (Benda 1985: 199). Pejabat di kantor yang disebut terakhir ini berasal dari
            kelompok  sosial  yang  sebelumnya—akibat  pegaruh  kebijakan  politik  Islam
            Belanda—dilihat hanya berada di lingkungan tradisional pedesaan, jauh dari dunia
            priyayi. Karena itu, bisa dipahami jika bupati dan priyayi ini sempat tidak mengikuti
            instruksi pemerintah Jepang. Mereka lebih suka mempertahankan cara-cara lama
                                                            23
            yang justru menjadi sasaran program penyesuaian Jepang.
                    Dengan semua perkembangan di atas, maka kaum ulama menjadi barisan
            terdepan yang secara formal menangani isu-isu keagamaan di Indonesia. Masjoemi
            berfungsi sebagai organisasi di mana rekrutmen dan mobilisasi berlangsung, yang
            kemudian  memfasilitasi  ulama  (kiyai  dan  guru  agama)  untuk  duduk  dalam
            keanggotaan Shūmubu, dalam pimpinan Shūmuka, dan juga PETA serta Hizbullah.
            Gerakan ini telah menjadikan kaum ulama berpengaruh sangat besar tidak saja di
            kalangan  Muslim,  tapi  juga  kaum  aristokrasi,  termasuk  para  penghulu,  yang
            sebelumnya  menjadi  pemegang  monopoli  wacana  politik  dan  agama.  Menarik
            membahas sekilas pertemuan Masjoemi, diwakili Wahid Hasjim, dengan penghulu
            seluruh  Jawa  pada  25  Mei  1944.  Dirancang  oleh  pemerintah  sebagai  forum
            silaturahmi  menyusul  pengambil-alihan  penanganan  perkara  agama  oleh  kaum
            ulama  melalui  Shūmuka,  pertemuan  tersebut  telah  memberi  ruang  bagi  Wahid
            Hasjim  untuk  tampil  dengan  posisi  demikian  penting  di  depan  pejabat  agama—
            suatu  kejadian    ”yang  untuk  pertama  kalinya  dalam  sejarah  Indonesia”  (Benda
            1985:  201)—,  seraya  meminta  penghulu  untuk  sadar  dengan  perubahan  zaman
            yang berlangsung dan sama-sama mendukung pemerintah pendudukan Jepang.
                                                                             24
                    Dalam kondisi demikian, maka kaum ulama telah menjadi satu kekuatan
            dominan  dalam  menangani  masalah-masalah  keagamaan,  mulai  dari  tingkat
            daerah  melalui  Shūmuka  hingga  ke  tingkat  pusat  di  Shūmubu.  Kontak  dan
            komunikasi di antara mereka, ulama-pejabat agama, yang dilakukan secara reguler,
            telah membuat keberadaan dan gerakan mereka sedemikian penting dalam peta


                                                155
   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169