Page 166 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 166

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH



            Dan  salah  satu  ulama  dengan  karier  politik  sepenting  itu  adalah  Wahid  Hasjim
            (1914-1953), putra Hasjim Asj’ari.
                    Lahir  di  Jombang,  Jawa  Timur,  Wahid  Hasjim  menempuh  pendidikan
            pertama kali di Pesantren Tebuireng milik ayahnya, masih di Jombang. Kemudian,
            di  usia  18  tahun,  dia  melanjutkan  studinya  di  Mekkah  (1932-1933),  mengikuti
            pengalaman belajar ayahnya dan ulama lain umumnya pada masa itu (Aboebakar
            2011  [1957]:  165-8).  Karier  intelektual  dan  politik  Wahid  Hasjim  dimulai
            sekembalinya  ia  ke  Jombang  tahun  1933.  Selain  memodernkan  Pesantren
                                  25
            Tebuireng  milik  ayahnya,  Wahid  Hasjim  menunjukkan  ketertarikannya  pada
            politik.  Tidak  lama  setelah  bergabung  dengan  NU  tahun  1938,  ia  kemudian
            ditetapkan  pada  November  1943  sebagai  salah  satu  wakil-ketua  dan  sekaligus
            bertindak sebagai pengurus harian Masjoemi yang berada di bawah kepemimpinan
            ayahnya.  Setahun  kemudian,  sebagaimana  telah  ditunjukkan  di  atas, ia pada  Juli
            1944 dipercaya menempati jabatan sebagai salah satu wakil ketua Shūmubu, juga
            di bawah Hasjim Asj’ari yang diangkat sebagai ketua.
                    Dengan  jabatan-jabatan  tersebut,  Wahid  Hasjim  memegang  peranan
            penting dalam urusan sosial-politik Islam di Hindia-Belanda ketika itu. Benda (1985:
            227) menyebutnya wakil Islam Indonesia yang boleh jadi paling menonjol di akhir
            masa  pendudukan  Jepang.  Sebagai  putra  pendiri  dan  pemimpin  tertinggi  NU,
            Wahid Hasjim memiliki jaringan kuat dengan ulama Jawa. Dan jaringan ini semakin
            luas  seiring  naiknya  dia  ke  tampuk  kepemimpinan  Masjoemi  dan  Shūmubu.  Dia
            berada  dalam  posisi  yang  strategis,  baik  di  bidang  sosial-keagamaan  maupun  di
            lingkungan  politik,  untuk  menghubungkan  kepentingan  pendudukan  Jepang  dan
            aspirasi sosial-politik dan keagamaan Muslim. Perlu disebut di sini adalah Shūmuka
            (kantor  agama  daerah),  yang  memfasilitasi  Wahid  Hasjim  dengan  jaringan  luas
            kepada kiyai-kiyai yang sekaligus menjadi pejabat agama di daerah-daerah di Jawa.
            Sementara  untuk  segmen  masyarakat  yang  lain,    Wahid  Hasjim  juga  memiliki
            jaringan  melalui  Hizbullah,  yang  menjadi  sayap  sukarelawan  Masjoemi.  Oleh
            karena  itu,  Wahid  Hasjim  didukung  massa  Muslim  yang  sangat  luas  dan
            berpengaruh besar secara politik di Indonesia (Yasuko 1997: 89-92).
                    Dalam  kaitan  ini,  penting  dicatat  bahwa  Wahid  Hasjim  mewakili  suatu
            gambaran umum kaum ulama saat itu yang bergerak dalam suasana baru di  bawah
            pendudukan  tentara  Jepang.    Wahid  Hasjim  sangat  menyadari  hal  itu.  Dia
            berpandangan bahwa Jepang memegang peranan sentral dalam membuka ruang
            lebar  bagi  tokoh  ulama  sekaliber  Wahid  Hasjim  memiliki  karir  demikian
            mengesankan  terutama  di  dunia  politik.  Maka,  sebagaimana  halnya  ulama  lain
            yang tergabung dalam Masjoemi, Wahid Hasjim juga menekankan perlunya bekerja


                                                157
   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171