Page 157 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 157

ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
                                JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)

            pada pendapatnya tentang sifat dasar adat yang bisa berubah (Snouck Hurgronje
            1906  [I]:  10),  sehingga  para  pemuka  adat  dalam  jangka  panjang  akan  dengan
            mudah  menyesuaikan  diri  dengan  gaya  hidup  baru  yang  diperkenalkan  oleh
            Belanda. Dalam kaitan ini, pengalaman penghulu di Jawa dan uleebalang di Aceh
            menjadi  fondasi  bagi  proyek  kolonial  terhadap  Islam  yang  diusulkan  Snouck
            Hurgronje.  Baik  uleebalang  maupun  penghulu  menikmati  kehidupan  di  bawah
            pemerintahan  Belanda,  yang  diharapkan  akan  diikuti  masyarakat  Hindia  Belanda
            lainnya—tunduk  dan  setia  di  bawah  pemerintah  kolonial  Belanda.  Snouck
            Hurgronje  membangun  visinya  tentang  Hindia  Belanda  masa  depan  sebagai
            “Indonesia  yang  terbaratkan”,  yang  mengambil  bentuknya  secara  tegas  dalam
            kebijakan  Politik Etis pada awal abad ke-20.
                    Snouck Hurgronje juga memusatkan perhatiannya pada upaya emansipasi
            kaum aristokrasi Hindia Belanda, khususnya elit Muslim semisal penghulu, dari apa
            yang  dia  lihat  sebagai  “sampah  abad  pertengahan  yang  telah  menyeret  Islam
            dalam  kemuduran  untuk  waktu  yang  sangat  lama” (Snouck  Hurgronje  1915:  79).
            Snouck  Hurgronje  berharap  bahwa  Muslim  Hindia  Belanda  mampu  beradaptasi
            dengan ide-ide baru yang berasal dari tradisi liberalisme Barat abad ke-19 (Benda
            1972:  85).  Karenanya,  Snouck  Hurgronje  menjadikan  kelas  aristokrat  sebagai
            kelompok pertama yang harus ditarik ke dalam pusaran kolonial. Patronase Snouck
            Hurgronje  terhadap  kelompok  aristokrasi  ini  mencerminkan  visinya  atas
            koeksistensi  Belanda-Hindia  yang  hidup  berdampingan  di  masa  depan.  Dalam
            rangkaian  ceramah  yang  disampaikan  pada  Akademi  Studi  Administrasi  Hindia
            Belanda (The Dutch East Indian Academy of Administrative Studies) di Leiden pada
            1911,  Snouck  Hurgronje mempromosikan  kebijakan  etis  “asosiasi”,  berharap  dari
            mereka  yang  telah  termansipasikan  akan  lahir  Hindia  Belanda  sebagai  bagian
            spiritual  dari  Belanda:  “lahirnya  sebuah  negara  Belanda,  yang  terdiri  dari  dua
            negara yang secara geografis berjauhan tetapi secara spiritual satu kesatuan, salah
            satunya di Eropa Barat dan yang lainnya di Asia Tenggara” (Snouck Hurgronje 1915:
            79).
                    Kebijakan  Belanda  inilah,  yang  lebih  berpihak  kepada  kaum  aristokrasi,
            yang menjadi sasaran kritik dan bahkan gugatan tokoh Muslim, teristimewa kaum
            ulama  sebagai  pimpinan  dari  kelompok  santri.  Mereka  melihat  kebijakan  politik
            Belanda  di  atas  berimplikasi  sangat  serius  bagi  terciptanya  satu  kondisi  sosial  di
            mana  kelompok-kelompok  masyarakat  yang  ada  hidup  dalam  perselisihan  dan
            pertentangan  satu  sama  lain.  Hal  ini  antara  lain  terekspresikan  dalam  tulisan
            seorang tokoh NU, Wachid Hasjim. Putera dari tokoh ulama terkemuka KH. Hasjim
            Asj’ari  ini    menulis  sebuah  artikel  berjudul  berjudul  “Melenjapkan  Jang  Kolot”



                                             148
   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161   162