Page 151 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 151
ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)
mengacu pada kebijakan Ordonansi Guru pada 1905, dan kemudian diperkuat pada
1925, yang mewajibkan guru-guru agama untuk melaporkan segala aspek terkait
proses pembelajaran yang dilakukannya kepada pemerintah Belanda (Suminto
1985: 49). Salam menulis bahwa “sebelum mengajar, mereka harus diperiksa oleh
kantor Urusan Agama Islam di bawah pemerintah yang tidak beragama Islam”. Hal
inilah, menurut Salam, yang membuat pendidikan Islam hanya terfokus pada
masalah agama, yang kemudian melahirkan satu sikap keagamaan yang terbatas
dan sempit, bahkan tidak lagi sensitif terhadap kondisi sosial-politik kaum Muslim
Indonesia. Dia menggambaran dunia pendidikan zaman Belanda sebagai “hanya
mengenai kepentingan diri sendiri saja, karena mereka guru-guru itu tidak
diberikan ijin oleh pemerintah untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama yang luas atau
ilmu masyarakat dalam lingkungan umat Islam”.
Oleh karena itu, seraya menggambarkan pemerintah Belanda sebagai
“sifat bangsa Yahudi” dan karenanya “Tuhan yang Maha Mengetahui
menunjukkan kemurkaannya” dengan dikalahkan tentara pendudukan Jepang,
Salam Yahyamenyambut kehadiran tentara Jepang dengan penuh harapan bagi
masa depan Muslim sehingga bisa keluar dari keadaan yang sangat tidak
menguntungkan dan telah bertanggungjawab membuat mereka (kaum Muslim)
bersikap tertutup dan berpikiran sempit. Salam menulis, “alhamdulillah pada masa
pancaroba ini sebagian besar umat Islam Indonesia telah sadar dan insaf dari
kesalahannya dan mulai insaf pula bahwa kewajiban kita sebagai umat Islam bukan
hanya memperbanyak putaran tasbih, tapi kita umat Islam harus berjuang dengan
segenap tenaga kita”. Lebih penting lagi, penulis artikel juga sangat menekankan
pentingnya kaum Muslim membantu dan bekerjasama dengan pemerintah Jepang
yang kini berkuasa di Indonesia.
Respon positif terhadap pendudukan tentara Jepang juga bisa terdapat
dalam tulisan Mohd. Isa Anshary (1916-1969), seorang aktifis politik
berlatarbelakang organisasi pembaharuan Islam Persis (Persatuan Islam) yang
kemudian (pada 1950-an) menjadi politisi di parlemen dari partai Masyumi (Majlis
Syuro Muslim Indonesia). Di salah satu edisi Soeara MIAI (1 Agustus 1943), Isha
Anshary menulis satu artikel berjudul “Timoer Soember Hikmat”, sebagai salah satu
14
kontribusi pemikirannya terkait isu Islam dan Jepang. Sebagaimana tampak dari
judulnya, respon positif Isa Anshari terhadap Jepang diketengahkan dalam bingkai
peradaban, di mana Jepang mewakili apa yang disebutnya sebagai peradaban
Timur, yang diharapkan bisa mengganti peradaban Barat dengan sejumlah
persoalannya.
142