Page 146 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 146
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
agama Islam, yang keputusannya itu harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-
6
sama”.
Lepas dari beberapa persoalan terkait statusnya sebagai federasi, MIAI
adalah lembaga yang secara tegas mewakili seluruh organisasi Islam. Meskipun
besar kemungkinan ada usaha pemerintah Jepang, seperti dicatat Benda (1985:
143-144), untuk mengganti MIAI, hal tersebut tidak bisa dieksekusi karena
kekuatan riil secara sosial-politik dan keagamaan dari keberadaan MIAI. Bahkan,
sebagaimana dicatat surat kabar Asia Raya (8 Mei 1942), kontak dan pertemuan
berlangsung antara pihak Jepang dan MIAI pada bulan Mei 1942, dua bulan setelah
tentara Jepang mendarat di Jawa (1 Maret 1942) yang menghasilkan satu program
bersama untuk melakukan langkah-langkah konsolidasi politik Jepang. Pada 7 Mei
1942, pimpinan MIAI Wondoamiseno, bersama dengan KH. Mas Mansoer dan
seorang Arab Fachruddin al-Hariri, mendatangi Kolonel Horie Chozo untuk
membicarakan masalah Islam di Indonesia. Dari pertemuan itu, ketiga tokoh
Muslim tersebut mendampingi Kolonel Horie, dan juga Haji Inada setuju untuk
berkunjung ke pusat-pusat Islam di Jawa. Selain diajak ke sebuah pesantren di
Surakarta, rombongan kemudian berlanjut ke Surabaya di mana sebuah pertemuan
dengan massa Muslim dalam jumlah sangat besar diselenggarakan. Di pertemuan
7
inilah Horie diperkenalkan Wondoamiseno dengan umat Islam di Jawa.
Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Sejak sebelum masa pendudukan,
Jepang telah menjalin kontak dengan MIAI, ketika organisasi federasi ini mengirim
delegasi atas undangan Jepang untuk menghadiri Pameran Islam di Tokyo dan
8
Osaka, dan disusul Konferensi Dunia Muslim, pada November 1939. Memang,
seperti dicatat Yasuko , delegasi MIAI merasa kaget dan tidak senang melihat
9
bendera merah putih terpasang di pameran, padahal itu masih dilarang oleh
pemerintah kolonial Belanda, dan karenanya mereka akhirnya memutuskan tidak
datang ke acara Konferensi Dunia Muslim. Meski demikian, jelas bahwa MIAI saat
itu adalah satu-satunya organisasi Islam yang merespon undangan Jepang, tidak
seperti Muhammadiyah yang bersikap menolak dengan sejumlah alasan yang
tampaknya karena kehati-hatiannya atas sikap Jepang yang menyelenggarakan
10
acara terkait dengan isu keislaman.
Atas dasar itu, MIAI kemudian berusaha tampil sebagai pihak mewakili
Muslim Indonesia di hadapan pemerintah pendudukan Jepang. Usaha untuk
mendapatkan simpati dan dukungan Jepang terus dilakukan MIAI, dengan
Wondoamiseno sebagai pemimpin organisasi berperan sangat sentral melakukan
diplomasi guna meyakinkan pemerintah Jepang untuk bekerjasama dengan MIAI
untuk isu-isu keislaman. Mengacu pada sumber arsip berisi surat-surat oleh
137