Page 145 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 145

ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
                                JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)

            Indonesia  oleh  Masjoemi  (Madlis  Sjoera  Moeslimin  Indonesia),  dan  juga  Djawa
            Baroe  yang  diterbitkan  pemerintah    Jepang,  pembahasan  artikel  ini  difokuskan
            pada apa yang mereka (tokoh-tokoh Muslim) suarakan dan perbuat; suatu proses
            yang—dalam  istilah  historiografi  post-linguistik  5  —sebagai  perbuatan  dan
            penciptaan  makna  secara  praktikal.  Hal  ini  diekspresikan  dalam  wujud  inisiatif
            mereka  untuk  merumuskan  kembali  nilai-nilai (Islam),  prioritas  dan  juga  perilaku
            dalam terma-terma yang berakar dalam konteks sosio-historis saat itu.

            Warisan Belanda

            Beberapa  dasawarsa  sebelum  tentara  Jepang  mendarat,  Islam  Indonesia  telah
            mengalami perubahan mendasar sejak pemberlakuan Politik Etis oleh pemerintah
            kolonial  Belanda  di  awal  abad  ke-20.  Perubahan  tersebut  ditandai  terutama
            dengan berdirinya lembaga-lembaga modern yang menjadi arena baru perjuangan
            umat Muslim,  di  bidang  sosio-keagamaan  dan  politik,  di  tengah  perubahan  yang
            berlangsung  di  masyarakat.  Selain  berdirinya  Sarekat  Islam  (SI  [1911]),
            Muhammadiyah  (1912)  dan  Nahdlatul  Ulama  (NU  [1926]),  lembaga  Islam  yang
            relevan untuk konteks kajian ini adalah MIAI (Majlis Islam ‘Ala Indonesia). Berdiri
            pada  21  September  1937,  MIAI  dirancang  sebagai  federasi  organisasi-organisasi
            Islam  Indonesia  saat  itu,  khususnya  yang  telah  disebut  di  atas,  guna  mengatasi
            pertentangan  dan  konflik  yang  kerap  mengemuka  akibat  perbedaan  dalam
            beberapa  masalah  keagamaan.  Sebagaimana  akan  dijelaskan  berikut  ini,    sejauh
            terkait dengan isu-isu keislaman, MIAI inilah yang pertama kali menjalin hubungan
            dekat dengan tentara pendudukan Jepang.
                    MIAI adalah hasil dari proses panjang untuk menekan perbedaan seraya
            mengedepankan  sikap  kompromi  untuk  bersatu  dalam  satu  wadah  organisasi.
            Pembentukan  MIAI  ini,    yang  berlangsung  di  Surabaya,  terjadi  atas  inisiatif
            beberapa  tokoh    utama  dari  organisasi  Islam,  yakni  KH.  Mas  Mansyur
            (Muhammadiyah), KH. Wahab Chasbullah serta KH. Muhammad Dahlan (NU) dan
            W.  Wondoamiseno  (SI).  Dengan dihadiri  sejumlah  organisasi  lain,  termasuk yang
            berskala  lokal,  rapat  pembentukan  MIAI  menyepakati,  selain  Wondoamiseno
            sebagai  sekretaris,  kedudukan  federasi  sebagai “tempat  permusyawaratan,  suatu
            badan  perwakilan  yang  terdiri dari wakil-wakil  atau  utusan-utusan dari beberapa
            perhimpunan-perhimpunan  yang  berdasar  agama  Islam  di  seluruh  Indonesia”.
            Selain  itu,  juga  disepakati  bahwa  federasi  bertujuan  “untuk  membicarakan  dan
            memutuskan  soal-soal  yang  dipandang  penting  bagi  kemaslahatan  umat  dan





                                             136
   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150