Page 148 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 148
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
kepercayaan tentara pendudukan Jepang. Di samping isu-isu praktis, banyak
pemikiran mengemuka terkait isu Islam dan Dai Nippon dan Asia Timur secara
umum. Hal ituterekam dalam majalah Soeara MIAI yang terbit sejak Januari 1943.
Sebagai organ resmi organisasi, Soeara MIAI memuat banyak tulisan dari berbagai
tokoh Muslim yang menyuarakan pemikiran Islam terkait isu-isu aktual, di samping
tentu saja agenda dan program MIAI. Selain Soeara MIAI, majalah lain yang kerap
memuat ekspresi intelektual Muslim adalah Djawa Baroe, sebuah majalah yang
11
memang dirancang sebagai media resmi tentara pendudukan Jepang. Tulisan-
12
tulisan di dua majalah ini muncul sebagai respon intelekual Muslim Indonesia
terhadap kondisi dan dinamika sosial-politik yang berlangsung. Dan itulah yang
akan dibahas di bagian berikut ini.
Suasana Zaman dan Harapan Baru
Pendudukan Jepang menandai satu babak penting dalam sejarah
Indonesia. Di samping mengakhiri penjajahan Belanda, pendudukan Jepang dalam
konteks Islam sekaligus bermakna lahirnya era baru yang sarat dengan semangat
dan harapan bisa memperoleh kebebasan untuk terlibat dalam kehidupan politik
dan kenegaraan. Kebijakan Jepang yang menghormati agama menjadi satu alasan
penting di balik munculnya semangat di atas. Dalam keranga itulah, Soeara MIAI
dalam edisi perdananya (Januari 1943) dengan tegas menyuarakan semangat baru
dan kesiapannya bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Selain
13
menjelaskan secara rinci tujuan MIAI, inti pemikiran ketuanya Wondoamiseno,
Soeara MIAI pada saat yang sama menekankan bahwa implementasi tujuan-tujuan
yang dicanangkan mensyaratkan kerjasama dan bimbingan Jepang untuk
kepentingan Asia Timur Raya.
Untuk itu, Wondoamiseno dengan MIAI mengetengahkan satu program
pembangunan Baitul Mal. Dalam salah satu edisi Soeara MIAI (28 Juni 1943),
Wondoamiseno menulis sebuah komentar atas pidato Perdana Menteri Tejo. Dia
menyambut dengan sangat baik niat Perdana Menteri (dalam pidato di depan
rakyat Nippon di Tokyo tangggal 16 Juni) untuk memberi “hak keleluasaan bagi
rakyat mencampuri urusan tatanegara”. Maka, selain berterima kasih, dia juga
menegaskan rencana MIAI dengan program Baitul Mal, berikut semboyan MIA,
“jangan banyak bicara, tetapi bekerjalah”. Dia juga menulis bahwa “sejak dating
Balatentara Dai-Nippon menduduki tanah Jawa, MIAI selalu tetap berdiri tegak di
belakangnya bersiap bekerja bersama-sama membantu sekuat tenaganya”.
139