Page 150 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 150
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
mana “dengan tipu muslihatnya Belanda, kedudukan alim ulama kita dibuat
sedemikian rupa sehingga agama Islam menjadi haknya segolongan orang yang
terbatas”.
Lebih jauh lagi, artikel tersebut menilai penjajahan Belanda
bertanggungjawab atas munculnya persepsi dan sikap yang memandang rendah,
“mencemoohkan”, keberadaan ulama Indonesia. Padahal, lanjut penulis artikel,
ulama telah berkontribusi sangat besar bagi upaya menciptakan keteraturan sosial
di tengah masyarakat. Saat ada gerakan protest dari masyarakat, ulama menjadi
tameng; sementara itu mereka juga kerap menjadi peluru pada saat ketika Belanda
perlu meredan gejolak yang terjadi. Karena itu, mengikuti artikel itu, tidak heran
jika di zaman yang lalu (masa kolonial Belanda) “agama Islam itu disegani bahkan
dibenci oleh golongan bangsa kita yang terpelet mentah-mentah kepada Belanda
itu”. Akibatnya, tidak mengherankan kalau agama Islam “dicemoohkan ‘murid-
murid Belanda’, karena sang gurunya sendiri bersikap mencemoohkan juga”.
Atas dasar itu, kehadiran tentara pendudukan Jepang dimaknai secara
positif, sebagai satu kekuatan yang telah memberi kesempatan yang terbuka bagi
ulama untuk melaksanakan kewajiban meraka mendidik generasi muda Muslim
untuk menyambut zaman baru di bawah tentara pendudukan Jepang. Senada
dengan itu, tulisan KH. Mas Mansoer di Djawa Baroe (edisi Maret 1943) penting
dicatat di sini. Dia menulis bahwa tentara Dai-Nippon sudah memebaskan bangsa
Indonesia dan bangsa-bangsa lain di Asia dari imperialism Barat di bawah Amerika
dan Inggris. Oleh karena itu, baginya, sudah sepantasnya kalau putra-putri
Indonesia menyatakan perasaan terima kasihnya kepada Balatentara Dai Nippon.
Senada dengan artikel di atas, edisi lain Soeara MIAI (15 Agustus 1943)
juga memuat satu tulisan oleh Salam A. Yahya yang berjudul “Islam di Zaman
Belanda”. Sebagaimana bisa diduga, artikel ini juga melihat zaman Belanda sebagai
penuh paradoks dan bahkan kebohongan. Selama ini, demikian Salam menulis,
pemerintah Belanda mengklaim sebagai pemerintah yang adil, menghormati tiap-
tiap agama, dan memberi kesempatan penganutnya berusaha memajukan dan
memperbaiki keadaan umatnya masing-masing. “Itu semua dusta belaka”.
Pengakuan Belanda tersebut, lanjutnya, hanya dijadikan alat untuk menjalankan
tipu muslihatnya guna memecah belah dan melemahkan pendirian umat Islam
Indonesia”.
Salam Yahya berargumen bahwa kontrol pemerintah di bidang pendidikan
menjadi satu poin penting dari kebijakan Belanda yang berimplikasi serius bagi
kondisi masyarakat yang dinilainya hanya berorientasi agama dan berpikiran
sempit. Meski tidak secara eksplisit, bisa diasumsikan bahwa penulis dalam hal ini
141